Angin berhembus melagu surai, keringkan air dari sang indra penglihatan. Bergaun merah bercak hitam, kucir kuda, mahkota emas. Barcode merah melintang berantakan, biru ungu warnai kanvas kuning langsat. Sakit bisu, saksi buta, bukti tuli. Gadis bukan gadis, hanya terluka, tapi terbunuh.
Blackivozerose. Black, Rose. Hitam, mawar. Cantik, mematikan. Indah, terbuang. Rose gadis penghuni istana tua, ratu yang dijadikan budak, pelayan paling mematikan.
Planetsmarkuasneptuns. Planet mars, dan neptunus. Panas, tapi dingin. Plan, gadis bermahkota ratu diperlakukan budak karena orang tua dan keluarga. Tidak punya teman, dia sendirian.
Blackivozerose Planetsmarkuasneptuns. Panjang bak alur hidupnya, rumit seperti cobaannya, sukar dilafal seperti sikap aslinya, menyimpan misteri seperti jiwanya. Panggil Rose, si cantik dengan duri mematikan.
Kisahnya tak sesingkat hidup kunang-kunang, dirinya tak hanya satu untuk setiap orang. Yatim piatu dua hari lalu, diberkati limpahan kekayaan. Penguasa empat elemen, dan kehidupan.
Rose selalu mengingat kata-kata orang tuanya. "Temukan kami di dasar laut, cari kami di ujung hutan, dekap kami di gunung bersalju, kecup kami di panasnya api, berpamitan pada kami di dasar bumi." Rumit. Tapi ia memahami. Teka-teki dirancang, ia selesaikan.
"Rose! Angkat karung emas di depan!" perintah si penasihat, sang paman yang memalsukan surat wasiat.
Tanpa berkata, ia bertindak.
Sekitar dua puluh karung emas ia pindahkan dari kereta kerajaan ke gudang, tanpa bantuan. Nenek tua di tahta hanya memandang, mendelik sesekali mendecih sinis untuk Rose.
"Tuan Air, berikan hujan untuk hutan yang terbakar, saya menyerahkan hidup saya sekeluarga untuk hutan." Rose menoleh, menatap datar rakyat miskin yang rela menjadi tumbal itu. Ia mengepalkan tangan, mengatur napas mengendalikan amarah.
"Nyonya Api, berikan cahaya untuk rumahku yang temaram, aku menyerahkan diri agar anakku tak hidup dalam gelap."
Rahang gadis itu mengeras, angin mulai berhembus kencang menghempas beberapa kursi tamu besar. Jemarinya menunjuk bumi, kakinya menghentak keras dengan mata memejam menahan emosi.
"Dia sang Ibu, yang berkorban untuk anaknya. Tidak pantas mati menjadi tumbal, maka, balikkan nasibnya!" desis Rose dengan tajam.
Gemuruh di langit menusuk rungu, menghentak jantung memompa lebih cepat. Batuan dingin mulai turun, bersama angin menyapu kasar seisi bumi. Rose tersenyum miring, mengendurkan kepalan tangannya. Lalu, amarah semesta mulai reda.
Teriakan menggema setiap penjuru istana, nyonya Api yang merupakan sang nenek tertimbun pilar-pilar kokoh dan lampu emas. Tubuh reyot itu hancur, darah tak henti mengucur meski bibir keriputnya memutih.
Rose pergi tanpa pamit, keluar istana persetan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya dengan gaun merah bercak hitam, surai kucir mahkota emas, dan kanvas kuning langsat yang tak lagi mulus, ia melangkah santai menuju hutan.
Jemarinya mengusap pohon sebagai pemimpin pohon lainnya, mengeluarkan cahaya emas dengan percikan bintang. Jalan hutan terbuka, batang tinggi menunduk dalam, memberi sambut pada sang penguasa alam.
"Ayah, Ibu!" panggilnya pada alam.
"Ayah, Ibu!" panggilnya lagi.
Angin berhembus kencang, mengusap lembut dari ujung kepala hingga kakinya. Terasa hangat, nyaman, dan menenangkan. Ia merebahkan diri, menatap langit malam penuh bintang.
"Aku tak ingin kembali ke istana tua itu, Ibu. Aku ingin kembali bersama Ayah dan Ibu, tanpa campur baur mereka."
Rose terus bergumam, dengan mata terpejam. Menikmati semilir angin, dan hangat tanpa kegelapan. Rembulan pun dengan senang hati menyinarinya, gemerisik khas hutan memanggil para hewan.
Terbang, merayap, bergantungan, melangkah, melata, semua lengkap menghampirinya. Membentuk lingkaran, mulai bersuara. Bersama dengan angin, mereka bernyanyi. Nyanyian yang membawa Rose pada keasliannya.
Balutan gaun merah bercak hitam itu berubah, menjadi hijau terang dengan pernak-perniknya. Barcode menghilang, kanvas berubah menjadi putih susu, mulus tanpa bercak setitikpun. Mahkota emas hilang, surai kucir kuda tergerai putih susu melintang di ujung.
Sang raja hutan mengaum, mengundang burung-burung yang membawa kalung dengan mata hijau bercahaya. Ia bangkit, tersenyum manis pada para penghuni hutan.
"Terima kasih, aku berjanji tak akan membiarkan hutan ini dijadikan kerajaan baru," ujar Rose dengan tubuh sedikit membungkuk. Para penghuni hutan menundukkan tubuhnya, melakukan penghormatan pada sang ratu.
"Air, tanah, api, udara. Aku kembali pada kalian," gumamnya.
Gemerisik hutan kembali terdengar, kali ini lebih ribut dari lebah yang murka. Balutan gaun hijau itu kembali berubah, merah merona dengan mahkota hitam. Kalung dengan mata bintang cahaya merah.
"Pintu waktu, bawa aku ke masa depan, biarkan aku membalas mereka. Dua ribu tahun bukan waktu yang sebentar untukku membalas keluargaku, maka, biarkan aku menjadi reinkarnasi manusia untuk membalas yang tak memiliki hati dan logika."
Sleb!
Dada kiri sang ratu tertancap panah api, mengeluarkan darah sangat banyak membuat nyawanya tak terselamatkan. Semesta yang menjadi saksi, semesta yang membawanya kembali.
***
"Gila!"
"Lu gila!"
"Gue gak gila! Kalian yang gila! Gak ada yang salah sama cita-cita jadi psikolog!"
Gadis berseragam putih abu itu berseru, membela dirinya yang dikatai gila. Netranya telah berkaca, napasnya tersendat-sendat karena sang penyakit mulai berulah.
Gadis itu berlari kencang, meninggalkan kerumunan yang katanya teman. Ia keluar sekolah, mencari udara segar di padatnya kota hujan. Sebelum melanjutkan langkah, ia berhenti di salah satu tempat beribadah, mengganti pakaiannya dengan buku dan kamera yang sudah ia siapkan.
"Ampun, Pak! Maafkan saya!"
Panggil saja Queen. Gadis bernama Queen itu mendekat, menatap lebih jelas yang sedang terjadi. Seorang nenek tua bersujud di hadapan pria berseragam formal, dengan beberapa sayur-mayur yang berceceran.
"Saya ini CEO! Bisa-bisanya kamu mencuri di wilayah saya!" seru si pria.
Ckrek!
Queen menatap hasil potretnya, lalu mencatat apa yang terjadi dalam potret itu di buku yang selalu ia bawa. Kembali memfokuskan pandangan pada TKP, matanya membola melihat sang nenek didorong kasar oleh pria itu.
"Andai waktu berjalan lebih cepat," gumam Queen.
Queen melanjutkan perjalanan, kali ini ia bertemu sekelompok mahasiswa sedang berdemo, dengan poster bertuliskan 'Gusur sekolah ini!'. Beberapa pihak berwajib menarik, saling baku hantam, tanpa memikirkan seekor kucing tersalip di sana.
Ckrek! Ckrek!
Dua tangkapan, dua kisah. Seorang mahasiswa yang dibanting, dan kucing yang terinjak hingga tewas mengeluarkan darah pada mulut mungilnya. Queen memejamkan mata.
"Semoga waktu berjalan lebih cepat."
***
Dua tahun berlalu, benar saja, waktu berjalan lebih cepat, Queen mengikuti akselerasi berkali-kali, jeniusnya ia langsung membuat sebuah perusahaan besar. Namanya dikenal di seluruh penjuru dunia, bahkan hingga ke pedalaman.
Berkali-kali ia patahkan rencana busuk manusia, berkali-kali ia menyelamatkan semesta dan diselamatkan semesta. Queen, gadis berdarah dingin membenci manusia yang tak pernah berpikir.
Ia reinkarnasi dari wujud Blackivozerose Planetsmarkuasneptuns. Kisahnya masih panjang, tertulis dalam kertas lain. Kisahnya terlalu panjang, semakin banyak teka-teki. Puzzle kehidupan ia susun, tak memiliki cinta namun, ia banyak dicintai. Seorang pria bisa meluruhkan dinding perbatasan Queen, tapi ia berhadapan dengan maut.
Queen. Sang reinkarnasi Blackivozerose Planetsmarkuasneptuns.Bersambung ....
🦋 Nama : A. Queen. Neptune
🦋 Komunitas : Ruang Wattpad
🦋 Peserta event
KAMU SEDANG MEMBACA
KUMPULAN CERPEN DAN CERMIN
Cerita PendekPoject rutin dari member & admin komunitas Incredible Pen Literacy. Kumpulan cermin dan cerpen menarik, serta beragam tema. [Jangan lupa dukungannya dengan vote dan comment]