AYE DAN For melayangkan tatapan protes. Oh, tentu saja! Mereka sudah berkunjung ke tempat Penyihir Laut-meski terpaksa-lalu teman sekaligus tuan muda mereka ini malah hendak menyeret mereka ke dalam masalah yang diciptakan Mare?
"Apa kaubilang? Tidak mau terlibat masalah dan menghadap Ayahanda?" ulang Mare yang mengerti bahasa For. Kepala penyu kecil itu mengangguk-angguk. "Tidak boleh begitu! Sejak awal, kan, kau sudah terlibat. Tetapi tenang saja, kalian tidak akan menghadap Ayahanda.
"Eh? Apa aku tidak akan dicari? Tentu saja mereka akan mencariku. Perjalanan ini memang melelahkan, tetapi aku sudah tidak sabar untuk bertanya pada Obaa-san! Kalian tahu? Aku tidak bisa menahan diri lagi!
"Oh, tenang saja. Ayahanda pasti akan marah kalau tahu. Namun, tidak mungkin beliau sampai menghukumku."
Mare memang amat percaya diri. Aye dan For tampaknya sangat lelah dengan kelakuan Mare. Namun, apa yang bisa dilakukan kedua makhluk kecil itu? Mereka hanya bisa mengikuti Mare yang dengan semangat berenang sangat cepat, meninggalkan Aye dan For di belakang. Tenaga merman muda itu seperti tidak ada habisnya. Bisa-bisanya ia tidak lelah setelah melakukan perjalanan jauh ke Segitiga Bermuda, lalu pergi ke Kepulauan Ryukyu, dan kembali lagi ke rumah?
"Ayolah, Aye! For! Kita harus cepat, sebelum matahari terbit!" seru Mare yang hanya menoleh ke belakang sekilas, lalu berenang lagi.
Bagaimanapun, For hanyalah seekor penyu kecil yang tidak bisa berenang cepat seperti para duyung maupun siren. Aye juga hanya bisa berdiri di atas cangkang For.
Sebenarnya Mare tahu apa yang ada di dalam benak kedua temannya. Padahal mereka berdua bisa saja meninggalkan Mare dan mengadukannya pada Ocea, Marine, bahkan Neptune agar mereka bisa bebas hukuman. Namun, Aye dan For tidak melakukannya. Meski tak jarang mereka mengeluh dan bersungut-sungut, memaksa Mare untuk pulang.
Perjalanan dari Segitiga Bermuda menuju ke Okinawa, Jepang, tepatnya Kepulauan Ryukyu memakan waktu hampir lima jam. Mereka pergi sesaat sebelum matahari terbit dan Mare bertekad untuk kembali sebelum matahari terbit pula.
Seharusnya perjalanan ini memakan waktu berhari-hari. Akan tetapi, Mare sebagai putra Neptune sang penguasa lautan mempunyai kemampuan berenang dengan cepat dan menghilang meski hanya dilakukannya sesekali-tiap satu jam sekali. Kadang kala saat For kelelahan, Mare mendekap penyu kecil yang di atas cangkangnya terdapat kepiting merah itu agar berenang lebih cepat.
Mare tampaknya tidak kelelahan setelah berenang mengarungi samudra hampir seharian. Merman muda itu sesekali bersenandung untuk menghibur dirinya dan kedua teman kecilnya. Mare tidak ingin membuat perjalanan ini membosankan karena jujur saja, ini perjalanan terpanjang yang pernah ia lalui selama tujuh belas tahun ia hidup. Mare berpikir, kelima kakaknya pasti pernah mengarungi samudra yang lebih luas. Jika ya, pelit sekali mereka tidak membagikan kisahnya pada Mare. Padahal, ia ingin mendengarnya.
Ah, diam-diam Mare membayangkan bagaimana jadinya jika ia hidup sebagai manusia. Punya kaki, bisa berjalan, menghirup udara segar, punya telinga dengan lubangnya, dan jemari yang tidak licin. Mare juga membayangkan ia sekolah di dunia manusia, juga membantu Obaa-san memancing.
Di tengah lamunannya itu, Mare mendadak merasakan sakit di lengan kanannya dan spontan mengaduh. "Astaga, Aye! Apa yang kaulakukan? Sakit, tahu!"
Ternyata si kepiting merah pelakunya. Ia mengapit lengan Mare hingga kemerahan.
"Apa? Oh, sebentar lagi sampai. Kalau begitu, kalian berdua pergilah duluan. Kabari Obaa-san. Aku akan menunggu di sini. Jangan lama-lama!"
Aye dan For mengangguk, kemudian berenang menuju permukaan. Ya, seperti inilah cara Mare bertemu dengan Obaa-san. Sebelum mereka bertemu, Aye akan muncul di permukaan dan mendatangi rumah Obaa-san, lalu jika wanita lanjut usia itu sedang memancing saat dini hari atau sedang tidak tidur, maka Mare akan menemuinya di tepi tebing tempat pertama kali mereka bertemu.
Tak lama Mare menunggu, Aye sudah datang kembali menumpangi cangkang For. Anggukan kecil dari Aye mengisyaratkan bahwa Obaa-san bisa menemuinya. Seketika Mare bersorak senang.
"Ayo, Aye! For! kita ke rumah Obaa-san!"
Tanpa berlama-lama, Mare segera mendekap For yang ditumpangi Aye, lalu berenang menuju utara, sebuah pulau tempat Obaa-san tinggal. Sesampainya di permukaan, langit masih gelap berhias bulan sabit. Namun, Mare tahu, sekitar dua jam lagi, matahari akan terbit. Dan Obaa-san sudah bersiap dengan alat pemancingnya yang diletakkan di tepi batuan besar, sementara ia duduk di batuan yang lebih kecil, tetapi mampu untuk dijadikan tempat untuk duduk.
Obaa-san tinggal di tepi pantai dan tebing ini berada tak jauh dari rumahnya, masih di jajaran pesisir. Karena itulah, tempat ini cocok untuk dijadikan tempat keduanya bertemu dan mengobrol.
"Oh, Mare. Sudah lama tidak bertemu. Ada apa, Sayang?" sapa wanita yang seluruh rambutnya hampir memutih itu.
"Obaa-san, aku ingin bertanya." Mare mendaratkan bokongnya di atas pasir, tepat di sebelah kiri Obaa-san duduk. Ekornya yang berwarna sian bergerak-gerak seperti ikan yang butuh udara.
"Ah, bukan pertanyaan penting, tetapi aku tetap penasaran. Apa Obaa-san mengenal gadis bernama Sachihara Koraru?" tanya Mare dengan binar penasaran yang tampak di sepasang mata biru laut miliknya.
Obaa-san tertegun sejenak. "Sachihara Koraru ... apa dia penduduk pulau ini?"
Mare mengangguk. "Benar. Rambutnya berwarna cokelat gelap, matanya kuning kejinggaan, pipinya tirus, lalu badannya lumayan tinggi dan ramping. Sepertinya dia remaja, seumuran denganku."
"Hmm." Obaa-san menggumam dan memejam. Gesturnya terlihat seperti orang berpikir. "Ah, aku tidak tahu."
Mendengar desahan kecewa dari Mare, Obaa-san melanjutkan, "Mare sayang, meski pulau ini adalah pulau yang tidak terlalu besar, bukan berarti aku mengingat seluruh penghuni pulau ini. Apalagi ingatan nenek tua ini mulai memburuk."
Tangan mungil dan keriput milik Obaa-san terangkat untuk mengusap-usap puncak kepala Mare dan mengelusnya dengan sayang. Sementara itu, sang merman muda hanya diam menerima usapan halus itu. Mare selalu suka cara manusia satu ini saat menenangkannya.
"Maafkan aku, Mare."
Mare menggeleng. "Tidak apa-apa, Obaa-san. Terima kasih atas jawabannya," ujarnya, kemudian mencoba tersenyum. "Ah, sepertinya aku harus kembali. Sebentar lagi matahari akan terbit. Ayahanda akan marah kalau aku pulang terlambat."
"Baiklah. Sekali lagi maafkan aku. Kau pasti sudah jauh-jauh ke sini untuk mendapatkan jawaban." Obaa-san berkata dengan nada menyesal. Ah, Mare tidak suka ini.
"Tolong jangan menyalahkan diri Obaa-san. Aku juga memang sengaja ingin berkunjung setelah satu bulan tidak bertemu."
Akhirnya, Obaa-san menyunggingkan senyum. "Kalau begitu terima kasih, Mare. Hati-hati di jalan, Sayang."
Obaa-san balas melambaikan tangan tatkala Mare mulai berenang menjauhi pantai, sebelum akhirnya ia tak melihatnya lagi karena sudah sepenuhnya masuk ke laut.
Aye dan For sudah tidak bersama dengannya lagi. Itu berarti mereka berdua sudah kembali terlebih dahulu. Namun, kenapa mereka tidak bilang-bilang? Mare mencebik kesal.
Tepat sekali Mare kembali sesaat setelah matahari terbit. Namun, bukannya sambutan yang ia dapat, melainkan wajah sangar sang ayah beserta raut keenam kakaknya yang menatapnya kecewa.
"Mare, mari kita bicara di istana. Lebih baik kau siapkan alasan yang kuat mengapa kau pergi ke tempat Penyihir Laut dan masih saja bertemu manusia itu. Jawaban yang kau berikan akan menentukan hukuman yang kau dapat."
Setelah berkata demikian, sang penguasa lautan beserta keenam kakak Mare meninggalkan ia yang hanya bisa mematung di tempat tanpa bisa berkutik.
🧜🧜🧜
Hayoloh, Mare mulai dapet masalah nih 👀
KAMU SEDANG MEMBACA
Until We Meet at the Sea | 海で会うまで
FantasíaKatagaki Mizuo menyukai Sachihara Koraru sejak pertama kali mereka bertemu. Semuanya berawal dari seorang gadis SMA yang menyelamatkan seekor merman dari manusia yang menangkapnya. Mare--seekor merman, putra bungsu dari penguasa lautan--jatuh cinta...