07 [Membunuh Ajag]

273 60 2
                                    

Haloo Agnibhaya balik nihh ramein yaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haloo Agnibhaya balik nihh ramein yaa

Selamat membaca!
(❁❁)

Berteman dengan rakyat sudah menjadi hal lumrah bagi Agnibhaya. Sederhana ia akan pergi mencari udara segar ke pasar atau tanah lapang tempat biasa anak-anak bermain. Sebagian orang yang mengenalnya sebagai Raden Agnibhaya mulai terbiasa dan bungkam. Menganggap bahwa sang raden selayaknya orang biasa.

Hutan, curug, kerbau dan anak-anak adalah perpaduan yang sempurna kali ini. Anak-anak yang memandikan kerbau di curug sekaligus bermain disana. Ada seorang anak yang memainkan seruling bambu, duduk di batu besar. Ada pula anak yang sibuk menyelam mencari ikan untuk mereka bakar bersama setelah penat memandikan kerbau.

Sedangkan Agnibhaya merebahkan tubuhnya di samping anak berseruling tadi. Memejamkan matanya sembari menikmati suara alam yang begitu menenangkan.

"Ada seorang pria yang mati setelah digigit ajag," ujar anak yang menghentikan permainan serulingnya.

"Benarkah?" tanya Guningbhaya masih memejamkan mata.

"Aku tidak mengada-ada."

"Kalau begitu jangan pergi ke dekat sarang ajag," balas Guningbhaya seadanya dan jujur. "Mereka biasa tidur di sekitar tebing dan bebatuan gua."

Anak-anak itu mengangguk patuh saja, lagipula mereka belum pernah bertemu hewan ajag secara nyata. Mereka akan lebih menyukai anjing daripada ajag yang rakus dan ganas. Mereka hanya sekedar mendengar cerita jika ajag itu menyeramkan.

Tanah Tumapel masih berupa hutan. Bukan hanya Ajag yang menjadi ancaman utama mereka. Tapi segala jenis macan yang bersembunyi di balik rimbunnya tumbuhan.

"Tetapi bagaimana jika ajag itu menjadi ancaman untuk manusia?" sumber suara itu membuat Agnibhaya merubah posisinya menjadi duduk. Mendapati seorang gadis berjalan mendekati mereka dengan pakaian yang-- tidak seperti pakaian seorang wanita.

Kain yang membebat pinggangnya hanya menutup setinggi lutut. Dibiarkan sedikit longgar agar memudahkannya bergerak. Rambut tergelung asal, sedangkan pada ikatan pinggangnya terdapat sebuah pisau yang ditempa secara asal. Parasnya ayu namun penampilannya kumal. Jauh berbeda dari yang Agnibhaya lihat terakhir kali.

Gadis itu berjalan mendekat dan berkacak pinggang menghadap Agnibhaya.

"Seorang raden yang gemar mabuk mana mungkin paham permasalahan rakyat?"

Agnibhaya tidak akan tersinggung. Sekalipun ia yang selama ini mencuri kesempatan hanya untuk pergi ke sekitar desa, masih disebut buta akan permasalahan rakyat. Lantas bagaimana dengan saudaranya yang lain? Tetap, Agnibhaya bukan pahlawan rakyat yang bahkan rela meninggalkan kehidupannya. Membaur bersama rakyat tidak serta merta membuatnya paham masalah yang dialami rakyatnya.

Gadis itu memutari batu besar yang menjadi tempat Agnibhaya duduk dan menelisik penampilan pangeran itu dari atas hingga bawah. Wajah dan postur tubuh itu tidak menunjukkan bahwa ia adalah rakyat biasa dari kasta rendah. Sebaliknya justru wajah tampan itu membuat auranya begitu berbeda. Dan gadis itu mendengus. Penyamaran yang payah.

PARAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang