05 [Asoka]

305 68 4
                                    

Selamat membaca!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat membaca!

•PARAMITA•

Tidak sebagaimana mestinya hidup Agnibhaya berjalan, anak laki-laki yang mulai beranjak remaja tersebut masih tetap sama.

Sekiranya tujuh tahun lalu, sekembalinya Ken Arok dari wilayah Ganter mengumumkan bahwa Panjalu telah takluk di bawah Tumapel. Tahta Panjalu kosong dan diadakan sayembara untuk ketujuh putranya, bahwa siapapun yang mampu mendapatkan simpati para rakyat Panjalu diperizinkan memerintah sebagai raja di sana. Para pangeran antusias karena itu merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan pengakuan dari ayahanda mereka. Berbeda dengan Agnibhaya. Jika enam kakaknya sibuk turun ke desa-desa dan membantu rakyat, menunjukkan kebolehan mereka dalam memerintah bersama para pejabat, Agnibhaya tidak melakukannya. Politik tidak pernah bisa memuaskan hatinya.

Terlebih tahta.

Ah, bila diingat kembali, Panji Saprang juga memiliki pemikiran yang sama dengannya. Namun tanpa berusaha keras banyak rakyat yang menyukai Panji Saprang. Fakta yang sedikit menyebalkan bagi saudara yang lain, tetapi menjadi olokan untuk Agnibhaya.

"Panjalu pantas untukmu kakanda, kenapa kau tidak menerimanya?"

"Kau mau, adimas?"

"Hahaha. Sudah pasti tidak."

"Setidaknya kita sama untuk yang satu itu."

Agnibhaya dengan jelas menolak turut hadir dalam sayembara. Ia hanya pergi ke desa bermain dengan anak-anak, pergi ke hutan mencari buah, dan mengintip gadis desa yang mencuci pakaian di sungai. Tidak ada yang ia lakukan, kembali dengan melaporkan hal yang tentu membuat semua saudaranya jengah. Si bungsu Dewi Rimbu seringkali mengomelinya karena, mana bisa menjadi hebat jika sifat-sifat buruk itu tidak hilang dari dalam diri Agnibhaya.

Namun, ada satu orang yang merasakan keberadaan Agnibhaya. Ingat seorang nenek yang memiliki kelinci di pasar? Wanita tua itu selalu mensyukuri apapun yang Agnibhaya berikan. Sedikit bantuan, sebungkus makanan, dan cerita bagaimana kelinci yang dulu Agnibhaya bawa untuk ia rawat berkembang menjadi banyak. Sang wanita yang kini telah renta itu bersyukur bertemu dengan anak laki-laki yang bahkan tidak pernah ia ketahui namanya.

Diakui oleh satu manusia karena ketulusan hatinya lebih baik daripada diakui oleh jutaan manusia karena topeng munafiknya. Agnibhaya akan angkat tangan tinggi-tinggi di hadapan Maharaja jika ditanya, berapa hati rakyat yang sudah ia dapatkan. Jawabannya masih sama, satu dan itupun hati seorang nenek tua penjual bunga di pasar.

Dan tujuh tahun telah berlalu. Panjalu jatuh ke tangan Mahisa-- saudara kandung tertuanya. Mungkin bisa ditebak semenjak ditentukannya raja baru di Panjalu, apa yang terjadi pada hubungan di antara saudara-saudara itu? Jika dijabarkan secara jujur, pelik.

Mendadak, pada dua tahun lalu. Sosok Maharaja yang begitu mereka kagumi dan mereka agungkan, tewas. Terbunuh pada malam Tumapel yang dipenuhi kedamaian. Tidak hanya Maharaja. Tetapi, Ki Angger yang datang untuk agenda rutinnya sebagai panglima, namun tanpa sengaja menjadi saksi pun turut dihabisi dengan begitu kejamnya. Entah siapa yang membunuh.

PARAMITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang