4. Kenangan Masa Lalu

330 33 0
                                    

Previous chapter: Pembicaraan Serius

Fattah menatapku dengan pandangan serius, lalu ia berkata, "Ya udah, dengarkan aku baik-baik." Kudengarkan baik-baik kata-katanya.

"Aku senang kamu mencintaiku Lani. Aku juga mencintaimu, bahkan dari sebelum pandemi. Tapi, kalau bukan karena pandemi, kita belum tentu bisa dekat seperti sekarang. Rasanya cintamu nggak pantes untukku. Aku merasa kamu lebih pantas untuk orang lain," jelas Fattah.

Mendengar hal itu, pikiranku melayang pada saat pandemi.

Waktu itu aku sedang bekerja di kota Pekanbaru, di kebun hidroponik.
Sebagai mahasiswi lulusan pertanian, sahabatku mengajak usaha sayur hidroponik di kota.

Sebuah usaha yang lumayan laris hingga pandemi mengubah segalanya. Nyaris semua bisnis menjadi lesu seiring dengan sepinya aktivitas manusia.

Untungnya, usaha sayuran kami masih bisa bertahan di tengah pandemi ini, karena sangat dibutuhkan masyarakat. Sayangnya tidak dengan pegawainya. Pada akhirnya aku jatuh sakit.

Mulanya hanya sakit biasa, lama-kelamaan tubuhku makin tak berdaya melawan virus. Rasanya sangat menyakitkan. Keringatku mengalir dalam butir-butir besar bagai air terjun.

Saat itu rumah sakit penuh, sehingga aku hanya bisa berdiam di kos-kosanku. Tak ada seorang pun yang dapat kumintai tolong, begitu juga dengan teman bisnisku itu.

Kemudian stok makananku mulai menipis. Aku kelaparan, tapi aku tak sanggup mencari makan keluar.

Aku menelepon ke rumah minta dijemput. Sayangnya nasib keluargaku tak berbeda jauh denganku, semua orang sedang sakit.

Aku mencoba mencari jalan pulang, tetapi kendaraan antar kota tidak diizinkan beroperasi. Seisi kota dikarantina saat itu.

Hingga akhirnya, pria penyelamatku datang merawatku, mas Fattah.

Rupanya setelah aku menelepon ke rumah, keluargaku mencoba menghubungi semua koneksi yang mereka kenal di Pekanbaru, guna mencari bantuan untuk memantau kondisiku dan memastikan keadaanku.

Dari semua orang yang berhasil mereka hubungi, hanya mas Fattah yang menyanggupi untuk menolongku. Dia adalah anak dari teman ngaji ayah.

Seperti halnya aku, mas Fattah juga bekerja di kota. Ia bekerja sebagai sekuriti bank cabang Pasar Pusat, tempat aku dan temanku menjual hasil kebun kami.

Selama pandemi, mas Fattah rutin mengunjungiku. Padahal kos-kosan kami berjauhan.

Ketika pertama kali ia datang, ayah sudah memberitahuku bahwa ada anak kenalannya yang akan datang untuk mengawasi keadaanku.

Saat itu ayah tidak berharap mas Fattah ini akan merawatku, dikarenakan pada masa itu semua orang juga kesulitan.

Melebihi ekspektasi ayah, ia tak hanya datang memastikan kondisiku. Dia bahkan juga rela membagi makanannya denganku, meski keadaannya sendiri juga tidak begitu bagus karena ia kena PHK.

Situasi sulit saat itu membuat tubuhnya jauh lebih kurus dibanding sekarang. Ia terus datang merawatku hingga akhirnya aku cukup sehat untuk pulang.

Aku merasa sangat bersyukur dengan kebaikannya. Ia melakukan hal ini tanpa pamrih, bahkan ia menolak imbalan dari ayah karena telah menolongku. Kami menjadi dekat karena pandemi ini. Tak lama kemudian kami berpacaran.

Setelah itu, titik kritis dari pandemi ini terlewati. Aku terlanjur kehilangan pekerjaanku, begitu juga dengan mas Fattah. Jadi kuajak pacarku ini kerja sama, membuat konten video untuk saluran yang telah kubuat.

Butuh waktu berminggu-minggu hingga akhirnya kami sampai ke titik ini, ketika saluran ini menghasilkan uang. Ya, uang yang kami tabung untuk rencana menikah.

Dengan lembut, aku berkata, "Mas Fattah, tak perlu berandai-andai terlalu jauh. Kita sudah saling mengenal, sudah berjanji untuk menikah. Cukup jalani saja apa yang sudah kita rencanakan. Dan untuk Mas ketahui, aku memacari Mas bukan karena berhutang budi." Kuberi penegasan di akhir kalimat.

"Itu dia masalahnya Lania, denganmu aku nggak ada masalah, tapi masalahnya adalah keluarga. Aku nggak bisa menjadi bagian dari keluargamu."

"Memangnya ada apa dengan keluarga? Ayah dan bapak sudah merestui hubungan kita, begitu juga dengan yang lain. Apa masalahmu Mas?"

Nada suaraku sedikit bergetar saat mengucapkan ini. Aku tidak mengerti dengan pikirannya. Mengapa ia jadi seminder itu? Aku ingat perkataan orang-orang, umumnya jelang pernikahan pasti ada cobaan, dan inilah cobaan hubungan kami.

"Tadi pas kita mau berangkat, kamu nanya 'kan? Kenapa aku nggak menunggu di dalam? Sebetulnya aku bohong."

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Setelah kupikir-pikir, ayah tak akan membiarkan tamunya menunggu di luar. Bahkan ketika ada orang yang berteduh saat hujan, ayah akan menawari orang-orang untuk masuk ke dalam.

Ayah merupakan orang yang ramah dan baik, lalu mengapa ayah tega membiarkan calon menantunya di luar?

"Memangnya ada masalah apa kamu sama ayah? Jelaskan sejujurnya!" tatapku tajam padanya. Aku tidak suka jika mas Fattah menyembunyikan sesuatu atau tidak to the point.

"Nggak ada, cuma ayah sepertinya kurang merestui hubungan kita. Akhir-akhir ini omongan ayahmu kurang enak ke aku."

"Kurang enak gimana?" tanyaku penasaran.

Bersambung

Kira-kira apa yang ayah Lani katakan pada Fattah hingga ia mundur?

a. "Jauhi anakku."
b. "Saya tahu rahasiamu."
c. "Kamu harus memberi mahar lima miliar untuk meminang anak saya."
d. "Lani akan saya jodohkan dengan juragan sawit."

Next chapter: Kita Putus?

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang