Previous chapter: Kembali Ke Hutan
Hal yang membuatku terkejut terletak pada papan gerbang hutan. Tertulis sebuah nama tempat yang sama sekali berbeda pada papan kayu di atas tali itu. 'Hutan Tipu' begitulah tulisannya.
Aku mencoba-coba mengingat kejadian tadi siang, sebelum kami memasuki hutan.
Setelah turun dari motor, hal yang aku lakulan adalah melepas jaket. Lalu aku merekam sebentar gerbang hutan ini, dan sekeliling sebagai footage video.
Aku yakin sekali. Saat itu, nama yang tertulis di papan itu adalah 'Hutan Larangan'.
"Heh! Kok melamun!" sentak bapak itu padaku. Membuatku tersadar dari pikiranku.
"Jadi pulang nggak?!" tanya bapak itu dengan sedikit kesal. Dari tadi kesabarannya sudah kuuji.
"Eeh, iya Pak!" jawabku sambil buru-buru ke arahnya dan menaiki motor. Sebisa mungkin kujaga jarakku, supaya celanaku yang basah tidak menempel ke bapak.
"Omahe nang endi cah ayu (rumahnya di mana anak cantik)?" ujar bapak menanyakan arah.
"Di depan Pasar Minggu, Pak," jawabku.
Meski jauh, bapak ini berbaik hati mengantarku. Udara malam menerpaku yang duduk di belakang. Baju, celana dan sepatu yang basah jadi terasa dingin. Ah! seandainya saja aku mengenakan jaketku seperti yang Fattah sarankan.
Selama perjalanan, aku memikirkan apa yang harus kulakukan. Hingga kuambil kesimpulan untuk menjalankan rencanaku.
Setelah agak lama berkendara lurus. Motor pun berbelok ke kiri jalan di depan area Pasar Minggu. Aku memberitahu bapak untuk berhenti di depan ruko tempat tinggalku.
Segera setelah motor berhenti, aku langsung turun dan berlari ke dalam. Sesampainya di dalam, aku mencoba meminta tolong pada ayah. (Detil adegan ada di prolog)
Namun ...
Brak!
"Nggak usah ngaku-ngaku kamu anak saya. Anak saya sekarang cuma satu. Nggak usah nipu kamu!"
Aku sangat terkejut dengan reaksi ayah, hal ini membuatku merasa sangat stres dan hancur. Kembali air mataku mengalir untuk kesekian kalinya hari ini. Sudah berkali-kali aku menangis hari ini. Rasanya aku nyaris gila.
"Ada apa Pak? Kok ribut-ribut?"
Aku menatap ke arah tangga ke atas. Kulihat ibu sedang menuruni tangga, penasaran dengan suara berisik di bawah.
Kemudian, saat ibu sudah sampai di bawah, matanya bertemu pandang denganku. Seketika air muka ibu yang tadinya biasa saja, berubah menjadi emosional.
"Dani?" Begitu ucap ibu dengan ekspresi terkejut saat melihatku.
Aku merasa bingung, mengapa ibu memanggilku dengan Dani? Apakah pendengaranku salah?
Belum usai rasa heranku. Tiba-tiba ibu memelukku sambil menangis.
"Kau pulang anakku," ujar ibu.
Mendengar hal tersebut, aku turut emosional. "Lani pulang Bu. Maaf udah bikin Ibu khawatir," jawabku. Aku berasumsi sepertinya ibu hanya salah mengucap namaku. Meski ayah menjadi aneh, ibuku tetaplah ibuku.
"Ayo naik ke atas. Lihatlah badanmu penuh luka, celana dan sepatumu basah," ujar ibu.
Lalu tanpa kuduga, ibu berjongkok di depanku. "Ayo lepas sepatunya, biar ibu yang urus."
Aku merasa kembali jadi anak-anak. Kulepas sepatuku sesuai perintah ibuku. Bahkan kaos kakiku pun dilepaskan oleh ibuku. Entah apa yang terjadi pada ibuku? Tak biasanya ibu memanjakanku.
Aku menoleh pada ayah. Wajahnya terlihat sangat kesal, seolah-olah aku adalah tamu tak diundang.
"Anak ini nggak boleh menginap di sini!" tegasnya.
"Eeh! Jangan gitu Pak! Anak udah lama nggak pulang kok digituin? Harusnya jangan biarin dia pergi lagi," protes ibu.
"Nggak boleh ya nggak boleh!" balas ayah keras.
Aku menyimak percakapan ribut mereka dengan kebingungan. Tak mengerti apa yang terjadi? Mengapa ayah seakan-akan tidak mengenal dan tidak mempercayaiku? Mengapa ibu mengucapkan hal-hal aneh seolah-olah aku sudah lama pergi?
Kemudian aku teringat pada bapak-bapak tadi. Aku bergegas ke depan, tetapi bapak tadi sudah pergi. Padahal aku belum berterima kasih. Beliau pasti menganggapku tidak sopan dan tak tahu terima kasih.
Kedua orang tuaku berdebat. Lalu ibu memerintahku untuk naik ke atas. "Pergi ke atas Dani! Jangan lupa mandi. Minta tolong Kak Bila," perintah ibu.
Lagi-lagi ibu memanggilku dengan nama berbeda, tapi aku menurut saja karena aku perlu mengurus diriku.
Saat menaiki tangga, aku masih bisa mendengar omelan ayah. "Kamu nggak seharusnya menerima dia!" ucap ayah kesal.
Aku jadi ragu-ragu dan berhenti menaiki tangga. Namun, aku berpegang pada kata-kata ibuku, kukira kita bisa membahas masalah ini nanti.
Tubuhku yang merasa lelah, basah dan lapar menyetujui hal itu, aku bergegas naik sebelum berubah pikiran. Di atas, aku masih mendengar mereka cekcok. Selintas, aku mendengar ayah mengatakan bahwa aku bukan anak mereka.
"Siapa Kamu?" tanya kakak menyambutku dengan pertanyaan.
Karena aku belum memahami situasinya. Kujawab singkat, "Tamu."
"Kamu mirip banget sama almarhum adikku. Pantes aja Ayah dan Ibu bertengkar sejak turun."
Aku terkejut mendengar penuturan kakakku. "Almarhum? Apakah aku sudah mati? Bukankah aku adiknya kakak?" tanyaku mencoba mencerna situasinya.
"Bukan, adikku laki-laki, namanya Dani Muhersih," jawab kakak mantap. "Dan dia sudah meninggal," lanjutnya.
"Aku betul-betul tak mengerti?" ucapku jujur.
"Kamu dari Hutan Tipu ya?" tanya kakakku sembari menatapku penuh selidik. Aku merespon dengan anggukan.
"Nggak kusangka kali ini yang muncul kembaran adikku," ucapnya lebih kepada dirinya sendiri.
Aku merespons ucapannya sambil mengerutkan alisku. "Maksudnya gimana, Kak? Tolong jangan bercanda!" seruku semakin kebingungan.
"Bukan apa-apa," jawabnya misterius. "Kamu udah makan?" tanyanya mengubah topik pembicaraan.
"Belum," jawabku. Aku baru menyadari rasa lapar di perutku. Ketegangan ini membuatku sejenak melupakan rasa lapar.
"Ya udah, mandi dulu. Biar aku siapin baju," jawab kakak seraya pergi ke kamar.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua orang bertingkah aneh?
Bersambung
Bersambung
Next chapter: Perbedaan Antar Dimensi
![](https://img.wattpad.com/cover/308908050-288-k532652.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]
FantastikLani dan pacarnya sedang berjalan-jalan ke hutan guna membuat konten. Seharusnya perjalanan ini aman-aman saja, karena warga sekitar sini juga sudah berulang kali bolak-balik hutan desa dengan berbagai tujuan dan baik-baik saja. Sayangnya, apa yang...