47. Koma dan Lamaran

169 21 1
                                    

Previous chapter: Informasi dari Keisengan

Aku berjalan pulang ke rumah bu Ummi. Informasi yang kudapat tadi sangat berharga, aku merasa sangat beruntung mengetahuinya. Yang tadinya aku tidak mengetahui rinciannya, kini aku tahu apa yang terjadi, tinggal mencari tahu siapa pelakunya? Apakah Risky yang melakukannya?

Mengapa aku tahu rinciannya dari mulut orang lain? Apakah karena faktor eksistensi yang menipis? Yah, hanya itu penjelasan paling masuk akal sejauh ini.

"Neng, tadi dicariin sama Pak Ono," kata pak Asep saat aku sampai di rumah bu Ummi.

"Iya kah? Ada apa Pak? Mengapa aku dicariin?"

Kemudian kucari pak Ono, tapi dia sudah pergi ke Mushola samping rumah, jadi aku menunggu sambil mengerjakan sholat Dzuhur.

Usai sholat Dzuhur, Nisya pulang naik motor. Dia kembali dengan banyak belanjaan, jadi aku membantunya membereskan belanjaan.

"Mbak Dini mana sih?" tanyanya menyelidik, ada sedikit nada tidak suka dalam suaranya.

"Lagi di depan, jaga toko."

"Kak Uus belum pulang?"

"Belum, tapi habis ini aku sama pak Ono mau ke Puskesmas, Nisya ikut nggak?"

Nisya menolak karena setelah ini dia ada kelas.

Tak lama kemudian pak Ono dan pak Asep kembali. Setelah itu, kami berlima makan siang. Setelah makan siang, aku dan pak Ono pergi ke Puskesmas.

Kali ini aku merasa sedikit janggal, karena pak Ono menyuruhku cepat-cepat ke Puskesmas, bahkan mbak Dini juga menyuruhku cepat-cepat ke sana.

Setibanya kami di sana. Mbak Uus menemuiku, wajahnya nampak cemas.

"Lani yang sabar ya." Hanya itu kata yang terucap dari mulutnya, membuatku menjadi bertanya-tanya dan takut.

"Apakah kemungkinan terburuk yang kupikirkan terjadi?" Pertanyaan besar dalam hati yang langsung terjawab begitu melihat kondisi Karni.

Karni masih terbaring di kasurnya seperti kemarin. Wajahnya pucat dan dia tak sadarkan diri.

Peralatan yang kemarin hanya infus dan pemantau detak jantung, kini bertambah dengan sebuah selang melintasi hidungnya, dan masker plastik mengurung mulutnya. Aku tak tahu nama alat-alat bantu ini, yang pasti dokter mengatakan Karni masuk ke fase koma.

"Kenapa Karni bisa koma, Dok?" Aku tak menyangka kondisi Karni berubah drastis lagi.

"Apakah Mbak keluarga pasien?"

Pertanyaan yang kujawab dengan pasti. "Bisa dibilang saya walinya Pak, saya yang bertanggung jawab atas Karni selama keluarganya tidak ada."

"Kemana keluarga pasien?"

"Hilang Pak, mereka menghilang ke hutan."

"Hutan? Mereka tersesat?" Pak dokter mengernyitkan dahinya, merasa asing dengan penjelasanku.

Seketika aku teringat pada penjelasan Risky mengenai eksistensi hutan dimensi pararel yang informasinya jarang sampai ke luar daerah. Jadi aku meralat pernyataanku dengan penjelasan yang masuk akal bagi orang luar.

"Karni terpisah dari keluarganya saat mereka pindah." Hanya itu yang bisa kukatakan.

Untungnya karena biaya administrasi Puskesmas ini ditanggung oleh keluarga bu Ummi. Dokter menjelaskan kondisi Karni padaku, bahwa rupanya Karni sebenarnya sudah dalam keadaan terlambat dibawa ke Puskesmas. Meskipun Puskesmas masih dapat menanganinya, akan tetapi keterlambatan ini membuat penanganan tersebut hanya memberikan efek sembuh sementara. Sisa racun yang telah menyebar, kembali menyerang pasien dan membuat Karni jatuh ke keadaan koma. Kini kesembuhan hanya bisa bergantung pada Karni.

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang