30. Penjelajahan Semakin Sulit

182 31 2
                                    

Previous chapter: Tarikan Maut

Memasang lonceng pada tali segel? Itu adalah ide yang cerdas. Membuat orang-orang jadi berhati-hati saat akan memasuki hutan supaya tidak berbunyi loncengnya. Kira-kira siapakah orang yang mencetuskan ide ini?

Sayangnya pikiranku teralih oleh ponselku, aku periksa hasil pencarian di peta online, tak terdaftar lokasi ruko ayahku, saat kutelusuri lebih lanjut, justru toko sepatu milik orang lain yang menempati lokasi itu, bahkan ruko itu berlantai dua, bukan tiga.

Lalu kucoba mencari namaku beserta nama tempat kuliahku. Tak kusangka, aku adalah mahasiswa jurusan psikologi, suamiku adalah keponakan pejabat daerah.

Pernikahan yang mewah, dalam foto dokumentasi pribadi, semua kerabatku datang ke hotel. Namun aku tak bisa menggali informasi lebih lanjut, entah siapa pasanganku di universe ini? Kamera menyorot kurang dekat, resolusi gambarnya pecah saat kubesarkan. Kurasa pria itu bukan Fattah.

Pria itu tinggi, langsing dan berkulit putih. Dia terlihat bahagia menikah denganku yang tampak seperti boneka dalam riasan pengantin.

Meskipun Fattah juga setinggi itu dan pernah selangsing itu waktu pandemi. Warna kulit kedua pria ini berbeda. Apalagi pria ini memiliki wajah yang cenderung kecil. Sepertinya dia tampan.

Yah, Fattah juga tampan terutama waktu kurus seperti saat pandemi, salah satu alasan aku mencintai dia selain kebaikan hatinya. Kini aku baru menyadari, perbedaan status kami terasa sangat berat bagi Fattah. Perlakuan ayah padanya merupakan penyebab lain dia enggan menikahiku.

Kutelusuri lagi informasi tadi. BY Habib, nama suamiku, hanya itu informasi yang kudapat. Sepertinya informasi ini berasal dari blog pribadi milik diriku. BY untuk Buya kah?

Aku ingat, saat kuliah sebenarnya aku ingin mengambil jurusan psikologi, tapi ayah menginginkan aku masuk jurusan pertanian karena ayah memiliki sejumlah tanah lahan sawit yang bisa menghasilkan.

Karena aku setuju dengan Ayah, akhirnya aku mengambil jurusan pertanian. Aku sendiri cukup menyukai jurusan ini, walaupun kadang jika bertemu dengan mahasiswa psikologi, ada sedikit rasa penyesalan, tapi aku segera menampiknya dan menghibur diri bahwa mempelajari tumbuhan lebih menarik ketimbang manusia.

Tiba-tiba lonceng gerbang berbunyi, membuyarkan lamunanku. Ah sial! Parangku masih tertancap di tempat tadi.

"Piye Pak Amin? Wis cukup kayune?" sapa seorang bapak-bapak yang muncul dari hutan. Puncak capingnya lah yang menyenggol lonceng.

"Sampun Pak," sahut pak Amin.

Aku menghela nafas lega, kukira suara lonceng itu ulah binatang yang tadi menarikku.

Kalau dipikir-pikir, makhluk-makhluk hutan dimensi pararel rasanya mustahil keluar dari hutan, dan aku juga rasanya tak akan bertemu lagi dengan makhluk itu, ataupun dengan penunggu hutan yang sama. Namun tetap saja rasa takut ini masih menguasaiku. Membuatku merasa sangat enggan melanjutkan perjalanan ini.

"Mbake ngapain di situ? Lagi sakit? Keliatan pucet," sapa bapak bercaping itu.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Dia dari hutan," timpal Pak Amin.

Mendengar penjelasan Pak Amin, Bapak bercaping itu tak ada lagi minat untuk berinteraksi denganku. Membuatku sangat penasaran, apakah gerangan hal yang membuat mereka bersikap demikian?

Memikirkan hal itu, semua beban pikiranku muncul membebaniku, membuat rasa stres di pikiranku meningkat hingga aku menangis sambil menunduk di atas lututku.

Aku merasa hidupku sangat sial, dan hari ini merupakan hari terberat yang aku alami.

Pagi ini aku bertemu penampakan, lalu barusan aku nyaris saja menjadi santapan binatang buas. Entah yang mana dari kedua hal itu yang paling menakutkanku? Yang pasti aku merasa tak sanggup melanjutkan perjalanan ini. Aku masih ingin hidup.

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang