27. Malam Pertama di Hutan

267 31 0
                                    

Previous chapter: Makhluk Lamban Bermuka Seram

Kukeluarkan pisau lipat dari sakuku dan meruncingkan sebuah ranting. Aku juga memotong sebuah semak ilalang dan mengikatkannya ke ranting yang kuruncingkan tadi.

Setelah kutancapkan ranting itu ke tanah di kaki salah satu pohon kembar, penanda sederhanaku selesai. Aku juga sudah mencoba melepon, dan benar saja. Tak ada satupun nomor yang tersambung.

Bismillah, dengan penuh harap, aku melangkah ke dalam hutan. Seperti biasa. Aku berteriak-teriak nggak jelas, mencoba memancing penguasa hutan secara instan.

Setelah menunggu beberapa saat dan yakin tak ada yang datang. Aku mulai menjelajahi hutan. Seperti biasa, parangku siaga di tanganku.

Dengan waspada dan teliti, aku mencari-cari berharap mendeteksi suatu gerakan. Sesekali sambil mengeluarkan suara, mencoba memancing penguasa hutan yang entah apa wujudnya. Namun hasilnya nihil.

Aku terus berjalan hingga sampailah aku pada sebuah area terbuka yang agak luas. Sepertinya area ini merupakan kebun di hutan biasa. Aku memang pernah mendengar, ada orang yang bercocok tanam di tengah hutan. Tadinya aku tidak percaya. Tapu sekarang sepertinya kabar itu benar.

Sayup-sayup, aku mendengar suara musik dangdut koplo. Dari mana suara itu?

Kucari-cari sepertinya suara itu memang berasal dari tengah lahan terbuka ini, tapi tak ada siapa-siapa di sini selain aku.

Setelah kunalar secara logis. Sepertinya selain suara binatang, suara aktivitas manusia di dalam hutan juga bisa didengar di dimensi pararel.

Meskipun aku sudah menemukan penjelasan sementara. Aku tetap saja merasa seram. Rasanya suara air mengalir lebih baik dibandingkan ini.

Aku berjalan secepatnya yang aku bisa. Tak kusangka, aku menemukan banyak sekali katak di sungai. Sepertinya aku sudah bertemu dengan penguasa hutan dimensi ini.

Untuk memastikan hal ini. Aku berjalan ke gerbang untuk memeriksa penandaku. Tepat sesuai dugaanku. Penandaku sudah menghilang, jika aku melangkah keluar gerbang, aku akan sampai di dimensi berikutnya.

Tapi aku memutuskan untuk menginap di sini malam ini. Meski jam belum menunjukkan pukul lima. Rasanya terlalu beresiko untuk menjelajahi dimensi pararel berikutnya. Lagipula, aku perlu membersihkan diriku dan buang air.

Mandi di sungai yang dipenuhi katak terasa agak menyulitkan. Apalagi kataknya besar-besar tipikal katak lembu. Untung saja aku mendirikan tenda di area terbuka dekat gerbang yang jauh dari sungai.

Katak dalam jumlah yang banyak ini, membuatku enggan untuk mencuci pakaian. Sedikit banyak aku menyesal sudah mandi. Kuharap aku tak terkena penyakit kulit dari katak-katak yang berendam di air ini.

Usai mandi, aku kembali ke tenda dan melaksanakan sholat Ashar, setelah itu aku memakan bekalku. Sebutir apel dan nasi bungkus. Lauknya masih sama, belut cabai hijau. Karena sayurnya sudah tidak ada, sebagai gantinya aku memakan apel.

Aku tadi sudah menyalakan pengisi daya tenaga surya sebelum mandi dan kini sudah penuh. Sambil menunggu maghrib, aku mengumpulkan kayu serta ranting untuk kubakar dan membuat api unggun.

Malam semakin gelap dan dingin. Tapi suara ceria para katak di sungai yang terdengar hingga kemahku, membuatku merasa tenang. Usai sholat maghrib dan isya, aku pun pergi tidur setelah membuat perencanaan. Oops! Tak lupa parang dan senter siaga di sampingku.

Sholat di alam terbuka, kemah sendirian, bikin api unggun sendiri, mandi bersama katak. Semua ini adalah pengalaman baru bagiku. Syukurlah aku bisa melalui hari ini dengan aman.

Kupanjatkan do'a yang panjang sebelum tidur. Kemudian aku terlelap diiringi oleh nyanyian para katak lembu dari sungai.

***

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang