12. Sulit Dipercayai

232 30 5
                                    

Previous chapter: Cuma Gara-gara Baju

"Eh itu, siapa namanya? Ani, nanti habis Isya, turun ke bawah ya!" kata ayah padaku.

Buset! Ada apa lagi ini?! Setiap kali ayah mengajakku bicara, perasaanku jadi tidak enak. Entah masalah apa lagi yang kuperbuat?

Mudah-mudahan ayah membiarkan aku menginap di sini, karena ayah suka berubah pikiran.

Aku pun bergegas menyelesaikan kegiatan mencuci piringku. Tak makan waktu lama, piring-piring sudah selesai dicuci.

Kemudian, aku turun ke tangga, rupanya ayah belum kembali dari masjid.

"Kak, boleh pinjam pengisi daya nggak? Ponselku tinggal sedikit dayanya."

"Ya udah, kamu gantiin aku sebentar. Aku isi ulang daya ponselmu."

Akhirnya aku turun dan bertukar tempat dengan kak Bila. Tak lama kemudian ayah pulang. Namun ia tak sendirian. Ada beberapa bapak-bapak menemaninya.

"Nunggu di bawah kamu jadinya? Kak Bila mana?" tanya ayah.

"Lagi ngisi daya ponselku." jawabku.

"Iki bocah sing nyasar ke rumah Mas Hadi (ini anak yang nyasar ke rumah Mas Hadi)?" tanya seorang bapak-bapak muda pada ayah. Omong-omong aku tak menyangka, ayah di dunia ini juga bernama Hadi.

"Iya, dia ngaku dari hutan tipu," jawab ayah.

"Mirip karo putrane yo (mirip anaknya ya)? Sopo jenengmu, Mbak (siapa namamu, Mbak)?" tanya seorang bapak yang sedikit lebih tua dari ayah dengan logat Jawa yang kental. Melihat wajahnya yang familiar, aku menduga dia adalah pak Sunu versi dunia ini. Kita sebut saja bapak ini kembaran pak Sunu.

"Nama saya Lani, Pak," jawabku.

"Udah dari kapan kamu di sini?" tanya kembaran pak Sunu lagi.

"Dari ashar tadi, Pak, baru beberapa jam."

"Kamu sendirian ke sini?"

"Kalau keluar dari hutan sendirian, Pak. Kalau nganter ke rumah, ada bapak-bapak saya minta tolong anterin."

"Pak Dullah sing ngeterke (Pak Dullah yang mengantarkan)," tambah ayah pada bapak-bapak tersebut. "Tadi kamu bilang ada temen atau pacarmu gitu, yang kamu bilang dalam bahaya, sampe nangis-nangis minta tolong."

"Namanya Fattah, iya di hutan kami berdua. Tapi habis itu dia ambruk. Saya nggak tahu lagi nasibnya gimana," jawabku sedih. Sedikit banyak pertanyaan ayah membuatku teringat pada kejadian mengerikan tersebut dan merasa bersalah.

"Ambruk gimana?" tanya pak Sunu.

Menjawab pertanyaan tersebut membutuhkan kekuatan mental yang besar bagiku. Namun tetap saja, emosiku bocor. "Saya nggak tahu dia masih hidup atau sudah mati? Pokoknya posisi Fattah dekat banget sama danau, monster yang mirip manusia langsung menggigit lehernya...." Aku mengusap air mataku.

Aku harus kuat, karena aku memerlukan bantuan. "Lehernya koyak...." Kebiasaan burukku saat menangis muncul. Semakin banjir dan kacau emosiku, semakin sulit bagiku untuk bicara dengan jelas.

"Oke, cukup," ujar bapak ketiga berjenggot kasar yang sejak tadi diam.

Untung saja ada tisu di sini. Aku langsung mengusap air mataku dan membuang ingusku.

Kemudian bapak-bapak ini saling berbicara dan berdiskusi.

"Selama saya keluar masuk hutan, saya nggak pernah menemukan hal semacam ini, sumpah!" ujar bapak berjenggot kasar itu pada bapak-bapak yang lain.

"Wah, karena saya jarang keluar masuk hutan, saya ndak bisa komentar banyak," timpal kembaran pak Sunu. "Nek Pak Raihan kepriye (kalau Pak Raihan bagaimana)?" tanya pak Sunu pada bapak-bapak muda tersebut.

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang