Previous Chapter: Teror Dimulai, Kabur!
Aku mondar-mandir dengan gelisah, memikirkan, "Apa yang harus aku lakukan?" Pertanyaan itu mendesakku untuk kujawab.
Dari arah barat–arah kedatanganku, terlihat di kejauhan seorang petani mengendarai motor dan membawa tongkat galah panjang berujung sabit. Mengetahui hal itu, aku merasa perlu bantuan, sehingga kuhentikan petani itu saat lewat.
Untungnya ia sudi berhenti di dekatku, dan menyapaku ramah dengan logat Jawanya yang kental. "Ngapain Nduk, sore-sore di sini? Sebentar lagi maghrib," tanyanya dengan nada heran. Wajahnya yang ramah, melihatku dengan sorot kebingungan dan penasaran.
Ah senjata! Melihat galah pemanen sawit, terbersit sebuah ide di pikiranku. "Boleh pinjam galahnya, Pak?" pintaku pada bapak-bapak kaos hitam itu.
"Boleh, nggo opo Nduk (buat apa nak)?"
"Nanti saya jelasin, bisa antar saya ke Hutan Larangan, Pak?"
"Hutan Larangan? Nang endi kui (di mana itu)?" ucapnya dengan mengernyitkan dahi.
"Itu, hutan lindung pemerintah di situ, Pak. Nggak jauh, kok!" ucapku sambil menunjuk ke arah aku datang.
Bapak tua bertubuh kurus itu memutar badannya dan menolehkan kepalanya ke arah yang kutunjuk, seraya berkata, "Ooh, Hutan Tipu, Mbak?"
Kini gantian aku yang mengernyitkan alis. Sejak kapan namanya berubah menjadi Hutan Tipu? Julukan lain kah? Bisa jadi, karena aku bukan orang sekitar sini.
"Ya pokoknya hutan yang sekelilingnya di kasih parit Pak, yang gerbang masuknya berupa pohon kembar yang diikat tali tambang gede," ucapku mendeskripsikan tempat yang kumaksud.
"Iya Mbak, itu Hutan Tipu namanya, Mbak," ujar bapak itu menimpali.
"Ya udah, bisa antar saya ke sana, Pak?"
"Mau ngapain Mbak ke sana?" tanyanya bingung. Tampak raut prihatin pada wajahnya.
"Ga pa-pa Pak, saya perlu masuk ke sana," jawabku jujur.
"Waduh, udah sore, Nduk. Pamali! Saya saranin jangan! Ber-ba-ha-ya," tolak bapak itu tegas.
Mendengar hal itu, ingin rasanya aku bersikap keras kepala, tetapi kini keraguan mendominasi pikiranku, melihat situasinya sekarang yang tidak menguntungkanku, sangat tidak bijak rasanya untuk bertindak sembrono.
"Saya anterin pulang ya!" ujar bapak itu menawarkan tumpangan.
Aku mencoba memikirkan situasinya dan mencari solusi lain. Mumpung ada orang baik yang mau menolongku. Lalu aku teringat dengan motor Fattah. Aku perlu memastikannya. Jika monster-monster itu masih ada, setidaknya aku bisa melawan atau kabur dengan bapak.
"Ya udah, gini deh Pak, Bapak anter saya ke Hutan-"
"Enggak Mbak! Emoh! Bahaya! Saya saranin jangan masuk ke situ kalau malam!" potongnya dengan penolakan keras. Kali ini bapak memberikanku tatapan seolah-olah aku sudah sinting.
"Enggak masuk kok, Pak. Saya cuma mau ambil honda¹." Kujelaskan tujuanku dengan jujur.
"Cuma ngambil honda aja kan?" Kali ini petani itu menatapku dengan tatapan curiga.
"Iya Pak, cuma mau ngambil honda, kok," ujarku meyakinkan bapak itu.
"Yo wis, naik," ajak bapak itu, mempersilakanku duduk di jok belakangnya.
Setelah aku duduk, bapak itu memutar motornya ke arah hutan dan mulai berkendara hingga ke depan gerbang hutan. "Wuih, pro juga bapak ini muter motor sambil tetap memegang galah nan panjang," batinku.
Setibanya di sana, aku langsung turun dan mencari motor mas Fattah.
"Di mana honda-nya?" tanya bapak itu.
"Tadi di parkir di sini Pak," jawabku sambil menunjuk tiang papan besi pemerintah.
"Aduh di mana ya?" ucapku kebingungan. Rupanya benar-benar tak ada, padahal tadi sudah dirantai Fattah ke tiang. Hebat juga malingnya.
Kemudian aku mulai berkeliling dan berjalan tak tentu arah. Namun, suara bapak itu menghentikanku.
"Udah, besok aja nyarinya. Percuma, sebentar lagi gelap, di sini ndak ada lampu," ucap bapak itu dengan cemas.
Bapak itu benar, di tempat yang jauh dari tepi jalan ini, tak ada lampu penerangan. Penerangan terdekat berasal dari lampu jalan. Hari semakin gelap, pastinya akan semakin sulit untuk mencari.
Apakah aku harus kembali masuk ke hutan dan menghadapi monsternya? Aku melihat ke arah galah sabit milik bapak itu. Pisaunya pasti tajam karena biasa digunakan untuk memotong tangkai buah sawit yang berserat. Aku juga memiliki ponsel yang terang.
Melihat arah tatapanku. Sepertinya bapak ini bisa membaca pikiranku. Dengan tegas ia mengatakan, "Udah, pulang aja dulu. Besok lagi nyarinya," katanya menasehatiku.
Bapak itu menatapku prihatin. Antara kasihan dan miris. Mungkin ia mengira aku baru saja dibegal, apalagi aku meminta senjata.
Sambil berjalan ke arahnya, aku mencoba mempertimbangkan berbagai pilihan. Pulang adalah pilihan yang paling masuk akal saat ini. Apakah aku perlu menceritakan perihal penyerangan yang menimpaku dan Fattah di hutan pada bapak itu?
Saat aku berjalan melewati gerbang hutan. Aku menolehkan kepalaku ke arah gerbang itu, dan merasa terkejut dengan apa yang kudapati di gerbang.
Bersambung
Kira-kira, apa yang membuat Lani terkejut?
¹Di Riau, orang-orang menyebut sepeda motor dengan honda.
Next chapter: Mendapat Sambutan Tak Terduga Di Rumah
Pengumuman
Aku udah menemukan jadwal idealku.
Mulai sekarang aku update malam di atas jam 21.00 WIB
SEMINGGU SEKALI
KAMU SEDANG MEMBACA
TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]
FantasyLani dan pacarnya sedang berjalan-jalan ke hutan guna membuat konten. Seharusnya perjalanan ini aman-aman saja, karena warga sekitar sini juga sudah berulang kali bolak-balik hutan desa dengan berbagai tujuan dan baik-baik saja. Sayangnya, apa yang...