56. Asal Muasal Kutukan

214 31 0
                                    

Previous chapter: Pendekatan

Selama lima hari pertama, aku sempat demam hebat karena parasit-parasit yang masuk ke tubuhku. Burhan juga memberiku lebih banyak obat, dan menyemprot lukaku dengan obat anti parasit.

Tadinya dia enggan untuk membiarkanku berendam lagi di air herbal. Namun aku merasa tak keberatan. "Aku harus melawan rasa takutku Burhan."

Setiap kali aku mengatakan ingin melawan rasa takutku, Burhan merasa tidak senang. Sepertinya hal ini sensitif baginya.

Akan tetapi, karena parasit-parasit ini semakin menjengkelkan, akhirnya Burhan memberiku kesempatan untuk berendam. Bukan hanya itu, airnya di buat lebih panas, dan ditambah lebih banyak belerang. Sehingga aroma belerang lebih mendominasi ketimbang rempah. Sungguh membuatku ingin muntah karena baunya.

Perlahan-lahan lukaku sembuh, demamku juga sudah mulai turun. Parasit-parasit sepertinya sudah makin berkurang seiring dengan meningkatnya daya tahan tubuhku.

Hari keenam, aku sudah mulai bisa berjalan normal. Sebab luka-luka di telapak kakiku juga sudah sembuh, meskipun sesekali masih terasa nyeri saat dipijak.

Karena aku sudah bisa melangkah, aku mencoba melihat ke cermin. Wajahku sungguh sangat mengerikan. Seolah-olah aku terkena jerawat parah, atau habis kena cacar.

Burhan meyakinkanku bahwa hal ini bukan masalah, wajahku akan segera sembuh. Meski sempat mewek karena merasa buruk rupa, Burhan mengingatkanku lagi.

"Pilih jadi jelek, atau dinodai?" Begitulah motivasi dari perawatku.

Kurang lebih aku butuh waktu seminggu untuk sembuh. Sejak hari kedelapan, aku memasak untuk kita berdua. Sebab Burhan merupakan tukang masak yang payah.

Selama ini aku hanya diberikan sereal, bubur gandum, makanan beku, makanan instan, serta sayuran mentah seperti tomat, timun, kacang panjang, dan lain-lain. Untungnya kesembuhanku sangat terbantu dengan gizi dari buah-buahan yang Burhan kupas. Omong-omong, buah-buahan tersebut merupakan buah yang tumbuh di halaman fasilitas.

Selain tukang masak yang payah, Burhan juga pekebun amatir. Untung saja ada sarjana pertanian di sini. Jadi sedikit-demi-sedikit aku membenahi kebunnya.

Aktivitasku membenahi kebun membuatku dapat menjelajahi bagian luar bangunan tempatku dirawat. Dari situ aku baru mengetahui bahwa bangunan tempat aku tinggal selama ini, merupakan fasilitas pemerintah yang terletak di area hutan luas. Lalu safe room tempat aku biasa tidur saat malam hari, berada di bawah tanah.

Hutan ini pun merupakan hutan biasa, bukan hutan dimensi pararel. Ada berbagai binatang yang hidup alami di lingkungan ini. Mulai dari kijang, babi hutan, burung, serangga, tupai, dan masih banyak lagi.

"Burhan, sampai kapan kamu akan tutup mulut dan tidak menceritakan kebenarannya padaku?" tanyaku membuka pembicaraan, saat itu kami sedang memanen sayur di kebun.

"Jangan khawatir, kutukan ini akan segera berakhir, ke depannya nggak bakal ada orang yang hilang atau tersesat ke dimensi lain," jawabnya enteng.

"Bukan gitu Mas, aku pingin tahu asal-muasal kutukan hutan ini," tegasku.

"Kalau kamu mau pulang aku bisa pulangin kamu pas udah sehat."

"Nggak! Kamu harus cerit–Aahhh!!!"

Seekor lebah membuatku berlari ketakutan hingga menjatuhkan tomat yang kupanen. Meski aku tahu bahwa ini lebah biasa, bukan lebah pemakan daging, rasa trauma membuatku takut pada serangga berdengung.

Burhan mendekatiku dengan santai. "Jangan khawatir Lan, itu cuma lebah biasa," ucapnya seraya menyerahkan tomat-tomat yang sudah dia punguti.

"A-aku takut, suara dengungnya mengingatkanku sama serangga pemakan daging itu."

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang