53. Bertahan Hidup

144 22 0
                                    

Previous chapter: Kentut yang Menyelamatkan

Kulemparkan obor itu ke air untuk menutupi jejakku. Aku segera masuk ke air dan menutupi kepalaku dengan ember. Inilah kegunaan embernya, supaya aku bisa bersembunyi dalam air, jadi serangga tak akan menyerangku.

Aku mendengar ada sesuatu terjun ke air. Aku segera berenang menjauh, tetapi orang itu meraih tanganku dan membuka emberku.

"Berani sekali kau membakar rumah kami! Dasar jalang!" Pria itu mencekik leherku. Namun cekikannya mengendur karena serangga-serangga itu masih mengikuti kami. Mereka menyerang wajah kami.

Langsung saja kami menyelam ke bawah permukaan air. Aku segera berenang menjauh dan membawa emberku.

Luka-luka yang kami derita, membuat daya selam kami berkurang. Untungnya aku memiliki ember.

Langsung saja ember itu kuisi dengan udara dan kutelungkupkan. Lalu aku berenang hingga kepalaku muncul dalam ember. Udaranya terasa pengap, tapi aku bisa bernafas dengan aman.

Paru-paruku menghirup udara dalam ember dengan rakus. Tentu saja dengan segera, pasokan oksigen berganti dengan karbon dioksida. Membuat napasku kembali berat. Sampai kapan aku harus bertahan dalam situasi ini?

Meski teredam ember, aku dapat mendengar malam ini suasananya sangat riuh, dipenuhi oleh suara serangga yang berdengung marah, dan suara teriakan para lelaki yang panik.

Aku tidak tahu siapa yang tadi mencoba mencekikku? Yang pasti kini dia berteriak kesakitan. Gerakannya yang liar dapat kurasakan dari gelombang air yang menghantam emberku.

Sesaat tenang, sesaat berteriak, tanda dia berusaha mati-matian mempertahankan hidupnya dengan menyelam. Namun sia-sia karena para serangga masih menunggunya di luar air saat ia kehabisan napas.

Aku berenang lagi menjauh. Sambil sesekali menyelam dan memperbaharui udara dalam emberku.

Aku sangat lelah dan kedinginan. Berharap situasi ini segera berakhir. Luka-luka di tubuh dan wajahku terendam air, menambah rasa pedih. Kulitku mulai mengkerut karena dingin.

Kakiku mulai pegal berdiri lama dalam air, sehingga aku mulai berenang dengan hati-hati ke area yang dangkal supaya bisa duduk sambil tetap terendam.

Sangat sulit melakukannya sambil menjaga ember menutupi kepala dengan sempurna, sebab para serangga ini masih berpatroli di sekitar emberku. Dapat kudengar suara dengungan mereka yang hinggap. Seolah-olah mereka tahu siapa yang telah membakar sarang mereka.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Suara manusia lain tak lagi terdengar. Aku sangat ingin matahari cepat-cepat terbit. Namun sepertinya masih lama, karena saat peristiwa ini terjadi, malam baru saja datang.

Kuperkirakan saat aku membakar kembang sarang lebah terjadi waktu maghrib. Dengan hitungan kasar, paling mentok sekarang sekitar jam sembilan, atau jam sepuluh malam. Malam masih panjang.

Dengan adanya serangga ini yang berpatroli, sepertinya aku hanya bisa bersabar menunggu pagi.

Lama bernafas dalam ember, tubuhku sepertinya mulai terbiasa dengan kepengapan ini. Lebih tepatnya terpaksa terbiasa. Luka-luka di tubuhku terasa nyeri. Badanku yang terendam air, entah kenapa mulai terasa gatal.

Beberapa kali aku nyaris ketiduran, sehingga posisi emberku miring. Rombongan serangga langsung masuk ke celahnya dan menyerang wajahku.

Aku langsung menyelam, dan membuat kantung udara lagi dari emberku. Lalu aku berenang hingga kepalaku masuk lagi ke ember. Berulang kali kulakukan hal itu.

Situasi ini semakin menyiksaku, sebagian tubuhku mulai mati rasa, kulitku juga mengkerut parah, tetapi jika aku melonggarkan keamananku sedikit saja, maka serangga akan menyerangku.

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang