5. Jadi Kita Putus?

361 40 0
                                    

Previous chapter: Kenangan Masa Lalu

Pengakuan Fattah mengenai perlakuan ayah yang kurang mengenakkan, memancingku untuk bertanya lebih lanjut.

"Kurang enak gimana?" tanyaku penasaran.

"Yah kayak, 'penghasilan kamu sekarang bikin konten sama Lani sepertinya lebih besar dari waktu jadi sekuriti ya?' Atau, 'kamu lulusan SMA, nggak ada niatan untuk lanjut S1, biar sama kayak Lani?' Atau, 'kalau kalian menikah, bisa nggak resepsinya di kota? Biar kerabat yang datang nggak jauh dari bandara.' Yah, semacam itu," ujar Fattah blak-blakan.

Aku mendengarkan penjelasan mas Fattah dengan seksama, kata-kata ayah memang terdengar wajar, tetapi ada sindiran, kesombongan dan diskriminasi halus di dalamnya.

"Menurutku itu terdengar wajar-wajar aja, ayah kadang suka gitu, nyindir alus. Aku yang anaknya aja kerap digituin," paparku pada pemuda sebayaku itu.

Usai mengatakan hal itu, Fattah menghela napas, seolah-olah aku tidak menangkap inti masalahnya. Padahal sebenarnya aku sudah bisa melihat situasinya, dan mencoba untuk membujuknya.

Harga diri mas Fattah terusik dengan kata-kata ayah. Laki-laki pantang direndahkan harga dirinya. Aku memahami hal itu. Entah sindiran apa lagi yang ayah ucapkan padanya? Selama ini aku tidak peka menyadari ketidak sukaan ayah padanya. Mungkinkah selama ini ayah diam karena hutang budi?

Kemudian, aku membereskan barang-barang yang kuletakan di pasir, seraya berkata, "Antar aku pulang sekarang, aku bakal ngomongin masalah ini sama ayah."

Seketika mas Fattah berdiri dan memegang tanganku. "Duh jangan Lani! Nggak perlu. Justru dari tadi aku berusaha sebisa mungkin nggak melibatkan ayah ke dalam urusan ini!" ujar Fattah berusaha mencegahku pergi.

"Nggak melibatkan gimana? Seharusnya ayahku berterima kasih karena kamu sudah menolong anaknya!" Aku merasa kesal, tidak seharusnya ayah berkata seperti itu.

Masih segar di ingatanku saat pertama kalinya aku pulang usai pandemi. Ayah dan ibu menangis bahagia melihatku kembali dengan selamat. Kengerian pandemi membuat mereka pasrah, hanya bisa berdo'a agar aku tetap hidup.

Kemungkinan mati karena sakit memang mengerikan, tetapi meninggal di tengah masa pandemi, jauh lebih menyakitkan. Sebab keluarga dan kerabat sama sekali tak diizinkan untuk menyaksikan pemakaman. Sungguh menyakitkan rasanya ketika ada orang yang di sayangi meninggal, tapi sama sekali tak diizinkan untuk melihat terakhir kalinya.

"Tenang Lan. Ayo kita duduk dulu, kamu capek," ajak mas Fattah mencoba membujukku.

Tadinya aku menolak bujukannya. Namun, karena Fattah bersikap tegas padaku, akhirnya aku menurut. Lalu kami berdua duduk di atas batang pohon kelapa yang sudah tumbang.

"Ini, minum dulu airnya," ucap mas Fattah menyodorkan botol minum yang sudah dia buka padaku.

Aku meminum air itu. Berusaha mengatur emosiku. "Nggak seharusnya ayahku bersikap kayak gitu," kataku usai minum.

"Soal menolong kamu, sudah kewajiban manusia untuk saling tolong menolong. Aku ikhlas. Tolong Lan, jangan libatin ayah ke masalah ini. Aku nggak mau kalian ribut. Ini murni keputusan aku," pinta Fattah.

"Jadi kita putus?" tanyaku dengan sedih.

"Iya Lan, kita sudahi saja hubungan ini."

Emosi yang sudah tertumpuk dan kutahan-tahan sejak awal pembicaraan seketika tumpah keluar. Aku menangis. Padahal tadinya aku mengira kita akan membicarakan rencana pernikahan. Namun yang terjadi justru kebalikannya.

"Aku pas di awal pembicaraan tadi mengira kita bakal ngomongin soal nikah, nentuin tanggal, WO (wedding organizer) yang mau kita pake dan lain-lain. Aku sama sekali nggak mengira yang ada kita malah putus."

Aku berbicara sambil terisak-isak. Air mata yang hangat, mengalir dari mataku yang terasa panas. Meski sudah kuperas air mata ini dengan mengerjapkan mataku, tetap saja tangisan ini terus mengalir.

Melihatku menangis, Fattah langsung merangkulku dan berupaya menenangkanku. Sambil mengusap air mata yang membasahi di pipiku dengan tangannya yang besar.

"Udah Lan, gak apa-apa. Justru karena ini belum terlalu jauh, makanya kita bisa lebih mudah mempertimbangkan hal ini dengan baik.

"Aku yakin, pasti ada jodoh yang lebih baik buat kamu di luar sana," sambung Fattah sambil mengusap kepalaku yang bersandar di bahunya.

Kuambil napas dan pelan-pelan berusaha menstabilkan emosiku. Sedikit demi sedikit, aku menjadi lebih tenang.

Suasana menjadi sunyi karena kami berdua diam, tak saling bicara. Hingga kami menyadari ada suara orang berenang di danau.

"Ada orang, Lan." Fattah memberitahuku dengan pelan. Kami pun segera melepas rangkulan kami.

Aku menghapus air mataku dan mengelap ingusku dengan tisu. "Untung aja aku nggak dandan," batinku, pasti wajahku sangat kacau. Aku sama sekali tak mengira bahwa ada orang lain di sini. Kukira kami hanya berdua. Akan terasa memalukan jika hal ini dilihat orang.

Kulihat cuaca mulai mendung, sebentar lagi akan turun hujan. Kini sebagian besar permukaan danau sudah tertutupi kabut. Mungkin karena itu, kami sama sekali tak menyadari adanya orang lain.

"Kok, dia berani sih berenang di waktu danau berkabut?" ucapku heran.

"Entahlah, pencari ikan mungkin," ujar Fattah mengangkat bahu. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya.

"Eehh, mau ngapain Mas?" tanyaku.

"Mau ngasih tahu orang itu supaya keluar dari air. Sebentar lagi mau hujan soalnya," jawab mas Fattah. "Kamu beresin aja barang-barang. Kita pulang," ujar mas Fattah memberikan instruksi, kemudian berjalan mendekati danau.

Aku bangkit dan membereskan barang-barang. Toh kami bisa syuting di lain hari.

Entah apa yang kupikirkan. Kurekam mas Fattah yang sedang menghampiri orang yang sedang berenang itu. Makin lama, suara orang berenang itu terdengar makin dekat ke tepian, hingga aku bisa melihat wujudnya yang tak lazim. Mirip manusia, tetapi seperti monster manusia ikan. Seketika aku mendengar suara teriakan mas Fattah.

"Lari Lani!"

Bersambung

Apa yang sebenarnya terjadi?

a. Orang yang berenang itu adalah psikopat
b. Orang yang berenang itu adalah buronan
c. Fattah mendapati sosok itu adalah mayat
d. Tulis jawaban kalian di kolom komentar

Next chapter: Teror Dimulai, Kabur!

TERSESAT DI HUTAN PARALEL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang