"Ini bukan tentang siapa yang paling iklhas, bukan juga tentang siapa yang bahunya paling kuat. Kapanpun, kehilangan akan selalu sama rasanya."
"By, kira-kira adik Miko laki-laki atau perempuan ya?"
"Tadi pas cek kandungan, kata dokter minggu depan udah siap usg. Kamu mau ikut nggak?"
"Haruslah, kok make nanya. Ini momentum, mau ngerasain deg-degan kaya waktu itu, waktu kamu hamil Miko."
"Nanti kalo adiknya Miko perempuan gimana, By? Kan bujangmu maunya laki-laki."
"Mau laki-laki atau perempuan, yang namanya rezeky itu udah diatur sama yang di atas. Miko kan cuma riquest, ntar juga pas adiknya lahir dia tetep seneng."
"Kalo nggak seneng, gimana?"
"Seneng, percaya deh sama aku."
"Yakin?"
"Yakin, kalo masih nggak terima, ya ntar biar Ayahnya yang nawarin lagi."
"Iihhhh! Kamu mah! Ini aja belum lahir!"
Percakapan itu hilir mudik dikepalanya. Sejak 10 menit setelah ia menerima kabar bahwa Kara mengalami pendarahan, Haikal pun langsung menyusul ditemani Jonathan. Sisa acara langsung ia serahkan pada tim 2. Awalnya Haikala ingin menahan setiap emosinya sampai ke rumah sakit, tapi gagal. Dadanya malah semakin sesak.
Disepanjang jalan, matanya terpejam dengan bibir berulang kali menyebut ayat yang sama. Ia berdo'a, masih besar harapannya bahwa kehidupan dalam kandungan istrinya baik-baik saja.
Tangannya gemetar, lantas dalam lantunan zikir yang ia sebut susah payah itu, air matanya berkali-kali mengalir begitu saja. Sungguh, rasanya hancur sekali. Di balik kemudi, Jonathan tak mampu bicara. Ia tak punya kata penenang yang mampu membuat keadaan hati temannya itu membaik, bahkan jikapun ada, ia tak mampu melontarkannya.
"Kalau perempuan, namanya Andara Haniya, ya By...."
Malam itu, untuk pertama kalinya Haikala menyandarkan harapan besarnya pada sang istri. Entah mengapa, tapi ketimbang nama untuk anak laki-laki, dia lebih memikirkan mencari nama untuk anak perempuan. Mungkin feeling seorang ayah, yang kebetulan sedang mendamba putri cantik secantik ibunya. Yeah, Haikal ingin anak keduanya perempuan.
Tapi balik lagi, apapun nanti jenis kelaminnya, Haikala akan menyambut kehadiran mereka dengan suka cita. Dia bahkan sudah berjanji pada dirinya sendiri, setelah usia kehamilan Kara lewat 3 bulan, dia akan banyak meluangkan waktu untuk berada disisi Kara dan mengantarkan perempuan itu ke rumah sakit setiap dua Minggu sekali.
"Kal, macet." Dan ditengah riuhnya isi kepala Haikala yang diisi tentang sebuah perbincangan dan kekhawatiran, suara Jonathan membuatnya saluran pernafasannya semakin mengecil. Sesaknya tak terkira, melebihi kemacetan diluar sana.
Sambil meraup wajahnya yang sudah basah, Haikala menatap keluar dimana deretan mobil terhenti secara serentak. Seolah-olah mereka tengah mengejeknya dari luar sana.
"Gue cari ojek aja, Jo. Lo nyusul aja ya, gue dul-" belum selesai dengan kalimatnya, suara ponselnya berdering nyaring. Cepat-cepat Haikal mengangkatnya.
"Kal, dimana?" Suara Narda yang ngos-ngosan pun terdengar, membuat isi kepala Haikala semakin tak karuan. "Cepet, Kara manggilin lo terus! Ini gue baru masuk ambulance, kalo bisa lo udah sampe sebelum Kara."
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]
Romance[SUDAH TERBIT, PART MASIH LENGKAP] Aku, kamu, dia bahkan semesta tidak akan pernah bisa mengatur hati semua orang bahkan cinta didalamnya. Maka alasan Haikala bertahan adalah untuk tidak menyalahkan siapapun, meski setelah ia memutuskan untuk menika...