"Kehilangan adalah sebuah fenomena patah paling patah, sedih paling pedih, jatuh paling dalam. Tapi hidup ini bukan hanya tentang yang hilang saja, bukan?"
Pukul 8 malam, acara kirim do'a selesai diadakan di kediaman Haikala. Tidak banyak yang datang, hanya beberapa tetangga terdekat, beberapa teman kantor dan tentu saja yang tidak boleh ketinggalan, teman-teman sejiwanya yang sejak sore sudah hadir untuk menyiapkan catering dan tempat acara.
Semenjak orang-orang datang kerumah, Miko hanya berada di gendongan Haikala tanpa tahu apa-apa. Memandangi semua orang yang datang dan memeluk ayahnya, beberapa ada yang sampai menangis, salah satunya adalah Jinan. Anak laki-laki itu memang sosok yang paling emosional diantara yang lain. Mungkin karena faktor usianya yang terbilang paling muda.
Sampai acara berakhir dan semua tamu pulang, tak ada yang berani bertanya pada Haikala tentang bagaimana keadaannya saat ini.
Menemukan wajah Haikala untuk pertama kalinya sembab bukan main membuat semua orang memilih bungkam, menyimpan pertanyaan mereka rapat-rapat, bahkan tentang keberadaan istrinya yang sejak kembali ke rumah memilih tetap berada di kamar pribadinya, tanpa mau keluar, tanpa ingin bertemu siapapun.
Diluar, gerimis sudah turun sejak sore hari. Seolah ikut menangisi kedukaan yang melanda rumah teduh itu, yang hari ini kelihatan seperti gersang dan kering, meski setiap rintik hujannya jatuh beriringan bersama hawa dingin yang kental.
"Gue pamit dulu ya, Kal. Yang tabah, yang kuat, yang ikhlas. Allah bakal ganti sama sesuatu yang lebih baik, mungkin nggak sekarang." Dan begitulah kalimat yang dilontarkan Mahesa susah payah didepan semua teman-temannya.
Mahesa sudah berada disini sejak siang, ia bahkan datang bersama Haikala dari rumah sakit. Ya, lebih tepatnya dia yang menjemput keluarga berduka itu untuk kembali ke rumah mereka. Selama berada di rumah, laki-laki itu tak banyak bicara, malah kelihatan paling sibuk di teras mengatur bangku tamu, menyetir mobil bersama Rendra untuk mengambil catering, bahkan bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih. Melihat betapa sibuknya Mahesa, mereka semua mungkin bertanya-tanya alasan mengapa Mahesa begitu sibuk.
Dan kali ini, kalimat yang ia lontarkan pada Haikala adalah kalimat terpanjang yang ia ucapkan dalam beberapa hari terakhir.
Lantas mengapa Mahesa tampak begitu sama berdukanya? Sampai seolah-olah, ia tak ingin menjawab satu pertanyaan pun yang dilontarkan teman-temannya. Salah satunya yang dilontarkan Cakra saat mereka masih dirumah sakit. Begini pertanyaannya-
"Waktu Kara pendarahan, Bang Mahesa dimana?"
Atau pertanyaan Jonathan yang kedengaran sarkas tapi dia melontarkannya sambil tersenyum lebar. Katanya-
"Lo diem aja, lagi sedih atau bersyukur sih? Gue radak sangsi, tapi it's oke, kemarin pas mau opening lo izin buat ketemu Kara 'kan?"
Mahesa tidak bertanya mengapa Jonathan tahu perihal pertemuan itu. Sebab Jonathan itu punya banyak mata, tidak mudah dibodohi seperti Haikala.
"Bang Mahesa udah mau pulang? Ada kerjaan ya?" Setelah menyalami semuanya, suara Jinan yang serak dengan mata sembab yang tidak kalah jauh dengan Haikala akhirnya terdengar setelah lama terdiam di kursi paling pojok.
"Mau ke rumah Kak Karen dulu nganter barang. Oh ya, Narda mau nebeng gue nggak? Sekalian lewat, lo tadi bareng Rendra kan?"
Mahesa menatap kearah Narda yang sejak selesai acara tidak punya kesibukan selain main ponsel. Sebenarnya, mereka semua sempat bertanya-tanya alasan mengapa Narda sering mengotak-atik ponselnya padahal ia tidak suka main game.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]
Romance[SUDAH TERBIT, PART MASIH LENGKAP] Aku, kamu, dia bahkan semesta tidak akan pernah bisa mengatur hati semua orang bahkan cinta didalamnya. Maka alasan Haikala bertahan adalah untuk tidak menyalahkan siapapun, meski setelah ia memutuskan untuk menika...