37- Malam Terakhir

24K 2.6K 91
                                    


-SIDER BISULAN!!!

Gemerlap bintang di langit malam ini sedikit kelihatan lebih indah dari malam-malam sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gemerlap bintang di langit malam ini sedikit kelihatan lebih indah dari malam-malam sebelumnya. Padahal, tidak begitu terang, juga tidak begitu banyak. Hanya ada beberapa, itupun harus dilihat setelah mematikan beberapa lampu yang ada. Pukul 7 malam, api unggun dinyalakan. Tapi benar, kelihatan lebih indah. Mungkin karena dinikmati bersama-sama.

Di halaman rumah Mahesa yang cukup luas malam ini dijadikan tempat mereka berkumpul. Lagi?

Yah mungkin karena memang ini adalah pertama kalinya mereka akan berpisah cukup lama, dengan jarak yang juga cukup jauh. Jadi demi mempererat hubungan yang sempat berada di ujung tanduk, juga sebagai cara mereka untuk sama-sama saling memulihkan, diadakanlah acara barbequean malam ini. Padahal besok Mahesa betulan akan pergi sekitar jam 10 pagi, tapi bukannya membiarkan Mahesa beristirahat, Haikala dan yang lain malah mengajaknya berpesta.

"Nanti rumah ini siapa yang nempatin, Bang?" Cakra menyenggol Mahesa. Lantas tanpa di komando semua mata menatap pada bangunan bertingkat satu tersebut.

"Kosong, rencananya malah mau gue jual aja."

Mendengar pernyataan itu, yang lain langsung menatap Mahesa skeptis. "Ntar kalo lu balik mau tinggal dimana? Di jalan? Apa di bawah jembatan? Ngadi-ngadi banget!" Rendra sewot. Tapi ya pikir saja sendiri, untuk apa sampai menjual rumah. Bikin overthinking.

"Ya kan masih ada 10 tahun lagi, bisa beli rumah baru. Lagian Papa udah betah tinggal bareng Kak Karen."

"Nggak sayang sama kenangannya, Bang?" Haikala tampak sedih. Habisnya, dia juga tahu kalau rumah ini yang sudah menemani Mahesa dari kecil. Bahkan ketika ibunya masih ada, rumah ini pasti penuh dengan kenangan meski beberapa tahun terakhir hanya ditinggali Mahesa seorang diri.

Tapi ketika melihat Mahesa tersenyum, semua yang ada disana pelan-pelan paham. Bahwa tidak ada satupun yang luput dari perhitungannya.

"Sebenernya emang, sayang buat jual rumahnya. Tapi kalau dibiarin kosong malah gue lebih sedih. Kak Karen udah punya rumah sendiri, Papa juga nggak mungkin kan nempatin rumah ini sendirian? Udah tua, nggak ada yang ngurusin. Terus kalau kosong, pas pulang nanti gue cuma liat bangunan nggak terurus dan semak belukar, gue nggak bisa bayangin betapa berdosanya gue hari itu. Jadi gue emang udah memutuskan buat di jual aja. Nggak papa kalau harus ninggalin kenangannya, yang penting kan masih diingat."

Detik itu, mereka pada akhinya mendapat satu pelajaran baru lagi. Kalau pada akhirnya, mengikhlaskan sesuatu itu memang harus ada pengorbanan. Seperti bagaimana Mahesa yang memutuskan untuk menepi sejenak dari segala kerumitan yang ia perbuat. Lantas memperbaiki serta memulihkan dirinya. Meninggalkan tempat dimana ia bisa mengulas balik kenangan yang tak bisa ia temukan dimanapun, bukankah itu sebuah pengorbanan?

Dihadapan api unggun yang mereka bakar, Mahesa bisa merasakan bagaimana rangkulan tangan Rendra dan Haikala pada masing-masing bahunya. Hangat, meski api unggun depannya juga menyalurkan kehangatan, rangkulan mereka membawa kehangatan yang berbeda.

1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang