"Aku nggak pernah meminta apapun dari semua orang untuk melihat apa yang aku perjuangkan. Tapi untuk sampai disini, itu sama sekali nggak mudah buatku."-Karamelia-
Pukul 11 malam, hujan baru saja turun ditengah-tengah kelam. Angin ribut berkelabat diluar seolah tengah melampiaskan kemarahannya pada bumi, entah karena apa. Kencangnya mereka menerpa apa saja yang ada membuat seseorang yang tengah berbaring pada ranjangnya ikut terusik, suara decitan pintu terdengar berkali-kali. Ketika Kara membuka mata, ternyata pintu kaca menuju balkon belum ia kunci.
Sesaat ia menatap kesisi pembaringannya yang lain. Suaminya belum pulang. Ia tahu alasan mengapa Haikala belum kembali, sore itu ia menerima pesan chat dari suaminya tentang apa yang terjadi.
Sambil berjalan sempoyongan, Kara mendekati pintu kaca tersebut dan berniat untuk menguncinya. Namun ketika sampai disana, ia memilih mengurungkan niatnya. Perempuan itu malah membukanya lebih lebar, membawanya pergi keluar, membiarkan angin diluar menerpa tubuhnya tanpa permisi.
Tangannya menggenggam erat terali yang ada dihadapannya. Dengan tatapan kosong yang penuh, pikirannya melayang jauh. Bohong jika ia tidak peduli pada apapun tentang Mahesa lagi. Meski entah sebanyak apa luka diantara mereka, Mahesa pernah menjadi seseorang yang membuat hati perempuan itu seperti taman bunga.
Segala perpisahan, keegoisan, cinta yang pernah mereka lalui, Kara tidak pernah ingin menggapainya lagi. Ya, ia sudah memutuskan. Sekalipun berulang kali hatinya terusik, ia tidak ingin melukai siapapun.
Kisahnya sudah usai, buku tentang kita juga sudah penuh. Jangan memaksa untuk menulis disampul buku terakhir karena itu hanya akan membuat buku itu rusak.
Entah darimana kalimat itu tersusun dikepalanya. Hanya ketika ia melihat Haikala, ia menemukan buku yang masih kosong. Ingin ia mengisinya dengan sesuatu, tapi setiap sampul pertama bukankah harus diisi dengan sesuatu yang indah? Maka pada suatu hari Kara memilih untuk membalik tubuhnya pada sosok Mahesa dibelakang sana. Penuh, buku itu sudah penuh. Tapi menjelang halaman terakhir, buku itu hanya berisi coretan yang berantakan, rumit. Lantas Kara akhirnya sadar, bahwa ceritanya dengan Mahesa telah usai, berakhir dengan segala kerumitan.
Sebab mereka mengakhiri semuanya dengan ketidak relaan, ketidak sepakatan, dan pada akhirnya pun mereka membawa hal-hal lain kepada ketidak baikan pula. Entah pada rumah tangganya, persahabatan mereka atau bahkan orang lain.
Krieeetttt
Suara pintu berdecit membuat lamunan Kara buyar seketika. Sedetik setelah itu, Kara membalik badannya dan menemukan suaminya berdiri diambang pintu dengan kemeja basah kuyup, rambutnya berantakan. Ketika Kara mulai melangkah, ia menemukan genangan pada kelopak mata Haikala namun Kara adalah yang paling tahu mengapa genangan itu tidak bisa terjun bebas kebawah sana.
"By, kenapa?" Ia bertanya, lantas meraih telapak tangan Haikala kemudian, mengusapnya. "Kok basah? Kamu kehujanan dimana?"
"Ra ..., " Haikala memanggil. Suaranya bergetar, namun detik berikutnya ada senyum lebar yang ia lihat. Meski ketimbang bahagia, ada lebih banyak kegetiran yang terlihat. "Kamu tau nggak kenapa aku minta kamu buat ngerahasiain alasan aku menikah sama kamu dari semua orang?"
Mendapat pertanyaan seperti itu, Kara terdiam. Bukan karena ia tidak tahu alasannya mengapa, sebab meskipun Haikala tidak meminta, ia akan merahasiakan hal itu demi menjaga nama baik keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]
Romance[SUDAH TERBIT, PART MASIH LENGKAP] Aku, kamu, dia bahkan semesta tidak akan pernah bisa mengatur hati semua orang bahkan cinta didalamnya. Maka alasan Haikala bertahan adalah untuk tidak menyalahkan siapapun, meski setelah ia memutuskan untuk menika...