[SUDAH TERBIT, PART MASIH LENGKAP]
Aku, kamu, dia bahkan semesta tidak akan pernah bisa mengatur hati semua orang bahkan cinta didalamnya. Maka alasan Haikala bertahan adalah untuk tidak menyalahkan siapapun, meski setelah ia memutuskan untuk menika...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Haikala menilik wajah ibunya yang masih sama seperti beberapa waktu lalu. Perawakannya tenang, tapi kalau sudah bicara sedikit overtalk alias cerewet. Apalagi kalau membahas soal anak tunggalnya yang bernama Haikala Akshal Guntara yang di gadang-gadang akan mendapat alih 100% perusahaan jika ayahnya meninggal nanti. Tapi, Haikala tidak pernah memikirkan hal itu mengingat dia masih ingin punya ayah dibanding kekayaan.
Toh, hidupnya yang terlalu bermasyarakat membuatnya semakin tidak punya minat jadi orang kaya. Percuma katanya, kalau tiap hari yang ditemui cuma kertas berkas dan meja kerja, padahal uang mereka bisa dipakai jalan-jalan sampai ujung dunia.
"Papamu lagi keluar negri, ke Belanda. Mungkin minggu depan baru pulang," lapor sang ibu, menolak anaknya pulang cepat dan menariknya duduk di sofa lalu menawarkan jus mangga.
Lagi-lagi Haikala cuma pasrah. Lagipula Haikala bisa apa sih? Di depan ibunya, Haikala itu seperti tidak punya keberanian apa-apa. Semua ketengilan dan kerandoman yang biasa ia lakukan dengan Pak Ahmad tiba-tiba musnah, atau ke alayan saat bertemu teman-teman sejiwanya juga tidak akan berlaku disini. Haikala jadi 100% bapak-bapak anak satu yang sebenarnya.
"Diem terus, kamu nggak mau ngobrol sama mamamu?"
"Bukan gitu, lagian emang Papa udah biasa keluar negeri buat kerja, aku juga tau kok. Mau gimana lagi aku nanggepinnya?"
Satu hal yang wanita itu ketahui, semakin dewasa anaknya tumbuh semakin ia merasa gagal mendidik anak. Bukan karena tidak bisa memberi materi yang cukup, karena hal itu sudah lebih dari seadanya. Hanya saja, melihat betapa Haikala terlalu pemurung dihadapannya membuat sebagian hatinya kering kerontang. Ia tidak akan memprotes bagaimana acuh tak acuhnya Haikala didepan ibunya sendiri, toh dari kecil dia memang tidak mendapat perhatian cukup dari sang ibu. Orang tuanya sibuk bekerja, membiarkan anak satu-satunya tumbuh begitu saja. Yang penting semua yang ia minta dituruti, dan dengan begitu mereka merasa sudah memberikan yang terbaik. Sampai mereka lupa, tanggung jawab orang tua bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan finansial anaknya saja, tapi juga mental, jiwa, hati mereka. Haikala tumbuh tanpa itu semua, maka wajar jika dia tidak menyukai duduk berhadapan seperti ini, membosankan pastinya.
"Nggak ada masalah kan dirumah?" Tanya sang ibu lagi, hanya ingin memastikan kehidupan anaknya baik-baik saja.
Haikala tak menjawab. Menolak memberi tahu bahwa menantunya adalah mantan pacar sahabatnya sendiri sudah jadi alasan mengapa Haikala benci ditanyai soal rumah tangga. Semua menuntutnya untuk baik-baik saja, padahal sebenarnya yang terjadi malah kacau balau. Dibesarkan tanpa kasih sayang yang cukup membuat Haikala mampu menutupinya sendiri dan memilih untuk bungkam.
Karena memang harusnya begitu, kan?
"Ma, jam istirahatku udah kelar, aku balik ke kantor dulu ya." Dengan begitu saja, Haikala menyodorkan tangannya lalu menyalimi sang ibu. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati ya nak kalau bawa mobil."
Sebenarnya, tuan rumah besar ini tidak jahat. Ibunya ramah dan sayang anak, bapaknya tegas dan punya uang banyak. Haikala juga sudah jelas tidak bisa membenci mereka sebagai orang tua. Hanya saja semua sudah terjadi, kehidupan yang mereka atur, rumah tangga yang mereka bangunkan, bahkan langkah yang mereka tentukan, sampai detik ini membuat Haikala tidak bisa menerimanya begitu saja. Untuk kali ini, ia ingin menentukan langkahnya sendiri.