Tersadar, ku tinggal sendiri
Merenungi semua yang tak mungkin
Bisa kuputarkan kembali s'perti dulu
Ku bahagia, tapi semuanya hilang tanpa sebab
Kau hentikan semuanya-Keisya-
Pagi ini datang begitu cerah. Seolah Tuhan tengah merayakan kepulangan seseorang dengan meriah. Iring-iringan pelayat sudah memasuki area pemakaman dengan beberapa orang yang gotong royong mengangkat peti mati bersama dibiarkan pada barisan terdepan. Mahesa dan Jerremy adalah bagian dari mereka yang turut memikul peti itu dengan perasaan teriris-iris. Sedangkan Rendra memilih untuk tetap memeluk kedua adik-adiknya, Jonathan berada pada barisan paling belakang sambil mendorong kursi roda yang diduduki Narda.
Semua orang hampir tidak percaya, bahwa seseorang yang tengah mereka antar ke peristirahatan terakhir itu adalah Haikala. Laki-laki yang beberapa hari lalu sibuk membujuk Pak Sebastian di kantor demi meminta izin untuk adik-adiknya dalam rangka mengantar kepergian Mahesa pergi ke luar negeri. Seseorang yang semua orang pikir, dia bukan pergi untuk selamanya melainkan tertidur beberapa waktu, mengistirahatkan dirinya sejenak dari lelahnya menjadi seorang Haikala yang menarik untuk semua orang.
Hingga saat iringan tersebut sampai pada sebuah pusara yang masih kosong, rintik hujan mulai berjatuhan, ditengah teriknya matahari. Seolah bumi ini turut merutuk pada Tuhan perihal sebuah kepulangan seseorang.
Mahesa dan Jerremy memutuskan untuk turun pada lubang pusara, mempersiapkan tempat Haikala berisitirahat. Meski pada detik berikutnya, Mahesa ingin sekali berlari sejauh mungkin untuk tidak berada disini, disebuah tempat yang akan ia benci seumur hidup.
"Bisa, Sa? Kalau nggak kuat naik aja." Maka ketika Jerremy menyadari betapa beratnya Mahesa mengerakkan tangannya, ia berbisik lirih.
Mahesa lantas menggeleng, cepat-cepat ia usap wajah basah itu dengan lengan kemejanya yang digulung setengah tiang. Di dalam sana, sekuat tenaga ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang terjadi semata-mata karena Tuhan terlalu sayang pada Haikala. Tapi betapa menyakitkannya mengingat setelah ini, sosok itu benar-benar akan hilang dari setiap harinya.
"Siap, Mas. Lahadnya udah siap."
Do'a mulai di lafalkan bersama bersiapnya tubuh Haikala yang terbalut kain putih tersebut dipindahkan dalam sebuah kubangan tanah. Sedangkan Kara yang kini terduduk disebelah peti mati Haikala hanya menatap kosong pada sosok yang kini tak bisa ia lihat lagi wajahnya, tak bisa ia peluk, bahkan untuk bertanya sesuatu yang sepele pun- dia tidak bisa menjawab.
Didalam kepalanya saat ini hanya dipenuhi dengan berbagai macam ketakutan. Kara tidak tahu harus bagaimana ia menjelaskan pada anaknya kelak tentang sesuatu yang memang sulit untuk ia jelaskan. Bagaimana masa depan Miko, bagaimana ia bisa mengurus putranya seorang diri, bagaimana rumah mereka yang bahagia itu setelah kepergiannya. Semua ketakutan itu ingin sekali ia tanyakan pada Haikala hari ini.
"Aku mau ikut kamu," katanya saat ia coba menyentuh mayat dalam peti tersebut, dengan gemetar. "Aku bisa apasih tanpa kamu, Kal?"
Dan Kara bahkan tahu, ia tidak bisa apa-apa tanpa Haikala.
Disebelah, Karenina beserta Irene mati-matian coba menenangkan. Tapi yang namanya ditinggal kekasih hati, tidak akan pernah semudah itu menerima. Meski mereka semua tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang Kara hari ini, melihat betapa tak berdayanya perempuan itu sudah memberi jawaban yang cukup jelas, bukan? Ia seperti kehilangan setengah jiwanya, seolah jika memang bisa, mungkin ia sudah membawa dirinya turut serta masuk pada lubang pusara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]
Romance[SUDAH TERBIT, PART MASIH LENGKAP] Aku, kamu, dia bahkan semesta tidak akan pernah bisa mengatur hati semua orang bahkan cinta didalamnya. Maka alasan Haikala bertahan adalah untuk tidak menyalahkan siapapun, meski setelah ia memutuskan untuk menika...