34- Tak ingin usai

20.6K 2.5K 90
                                    


•••Sider bisulan
-Haikala

Penghujung bulan Mei kerap diisi cerah dan berawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penghujung bulan Mei kerap diisi cerah dan berawan. Kota Jakarta yang hiruk pikuk semakin riuh ketika deru mesin kendaraan memenuhi jalanan. Di sepanjang jalan Menteng raya yang bisa dilihat hanyalah deretan kendaraan yang mengantri, kemacetan disiang hari yang gerah adalah hal yang paling semua orang benci. Begitupula untuk seseorang yang tengah duduk dibalik kemudi mobil pribadinya sendirian, sudah berkali-kali ia membanting tangannya pada stir mobil.

"Oh, God, c'mon!" Sekali lagi, laki-laki itu memukuli stir mobilnya. Dengan marah.

Laki-laki itu adalah Mahesa. Sudah sekitar 30 menit mobilnya tak bergerak, sedangkan kerjaan di kantor sedang memburunya tanpa ampun. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu, apalagi mengingat harus kemana ia mengadu jika sudah begini. Bukankah ia sedang membenci semua orang?

Ia melihat jam ditangannya. Pukul 1 lewat 20 menit. Sudah ada puluhan panggilan masuk dari atasannya karena akan ada meeting penting di perusahaan. Sampai pada akhirnya Mahesa hanya mampu pasrah, dan sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

"Abang dimana sih?" Mahesa tak langsung menjawab ketika suara Haikala terdengar dari sebrang. Ini sudah seminggu sejak pertikaian di Atap Tua dan sudah seminggu pula Mahesa menghindari teman-temannya. Sedangkan bicara, mengirim pesan pun tidak pernah lagi. "Bang, Mahe! Hallo .... Ada orangnya nggak si?"

"Iya ada." Jawab Mahesa pada akhirnya. Singkat, padat.

"Dimana? Dicariin Pak Hadi sama Pak Gunawan tuh! Tadi kata Rendra juga Pak Rangga nyariin."

"Masih dijalan, macet."

Terdengar helaan nafas panjang dari sebrang. Haikala bukannya tidak tahu bagaimana dinginnya Mahesa akhir-akhir ini, atau malah- dia menyadari bahwa ada kilat kebencian setiap kali mereka bertemu. Namun sebisa mungkin Haikala tidak ingin menarik semua kebencian itu kepermukaan. Lagipula, apa yang bisa Haikala lakukan jika sudah begini? Jika teman-temannya memilih pasrah dan acuh tak acuh pada Mahesa sebab laki-laki itu emang seberubah itu, bebalnya luar biasa. Lantas, apakah Haikala juga akan melakukan hal demikian? Jelas tidak. Jikapun seluruh dunia ini ingin mengalir apa adanya, Haikala adalah satu-satunya yang bergerak untuk menembus aliran itu.

"Kalau lo nggak keberatan, gue bisa jemput lo make motor Pak Sadewa dulu. Atau kalau enggak sekalian ikut Jonathan aja gimana? Dia bilang lagi otw dan pake motor, lo bisa nebeng. Mau nggak?"

Bahkan mungkin Mahesa juga sadar, betapa berubahnya Haikala belakangan ini. Ketimbang berkata 'Ikut Jonathan aja gih, tu anak bawa motor dan lagi otw, Haikala lebih memilih untuk menawari terlebih dahulu. Benar, ia tidak bisa semena-mena seperti dahulu pada Mahesa sebab semua yang terjadi telah benar-benar membangun sebuah dinding pembatas yang amat tinggi diantara keduanya.

Mahesa ingin menolak. Sebab ya gengsi saja setelah apa yang terjadi selama ini, meminta bantuan kepada orang yang ia hindari bukankah itu konyol?
Tapi setelah di pikir-pikir, ada hal yang lebih penting dari gengsinya yang setinggi langit itu. Benar, pekerjaan. Dimana ini memang penting baginya.

1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang