35- Kesempatan berpisah

20.9K 2.4K 135
                                    

Haikala tidak pernah menyebut dirinya orang baik, hanya orang-orang disekitarnya saja yang berpikir demikian. Tidak jarang, mereka berterima kasih atas jasa yang tak seberapa. Haikala juga tidak pernah benar-benar menyebut dirinya sebagai penjahat, terlepas dari apa yang membuatnya pernah merasa sangat bersalah pada orang lain.

Semua orang terdekatnya tau darimana ia berasal. Siapa yang tidak kenal dengan Bapak Batara Soedjiwo seorang pengusaha kelas atas yang sahamnya dimana-mana? Tidak jarang, ketika acara resmi dilakukan beberapa orang yang lebih tua membungkuk padanya sebagai rasa hormat.

Tapi siapa yang akan mengira kalau laki-laki itu kini bekerja sebagai karyawan biasa disebuah perusahaan intertainment lokal? Dan yang lebih mengagetkan, kini ia tengah duduk diatas jok motor matic butut dengan helm bogo berwarna merah muda sambil menyusuri tengah-tengah kemacetan jalan raya. Siapa sangka anak orang kaya yang dari kecil hidupnya bergelimang harta kini rela berdesak-desakan dengan motor lain untuk keluar dari zona kemacetan?

Dibelakang, ada Mahesa dengan helm berwarna hitam menatap nanar kearah jalanan. Sesekali ia menatap temannya tersebut dengan perasaan yang carut-marut. Ini bukan tentang bagaimana bisa anak orang kaya berada ditengah kemacetan dengan motor butut yang ia kendarai. Ini lebih menyesakkan sebab Mahesa juga tahu, seberapa banyak kebencian yang ia miliki selama 4 tahun terakhir. Dan seberapa keras kepalanya ia menarik paksa seseorang dari pelukan orang lain, hanya karena ia tidak bisa melepaskannya.

"Lo serius mau ikut pertukaran pekerja ke Canada?" Lantas dengan suara lantang, ditengah bisingnya deru kendaraan, Haikala bertanya pada Mahesa.

"Iya."

"Pertukaran pekerja 10 tahun, Bang. Lo nggak bakal pulang selama sepu-

"Bagus 'kan?" pungkas Mahesa yang hanya bisa menatap tengkuk Haikala dari tempat ia duduk. "Nggak ada yang bakal ganggu rumah tangga lo lagi."

Haikala tak menjawab. Entah bagaimana wajahnya kini, Mahesa tidak bisa melihat dan membaca. Hanya ada keterdiaman yang begitu lama, sampai akhirnya motor yang mereka naiki melewati sesaknya kemacetan dan melaju dijalan yang lebih luas.

Mereka berdua bisa merasakan kelegaan itu bersama. Tapi bagaimana sesak didada mereka masing-masing?

"Jadi gue nggak pantes buat minta lo bertahan ya, Bang?" Akhirnya Haikala menyahut setelah jeda yang cukup lama. Melanjutkan topik yang masih sama, dengan luka yang sama pula.

"Siapapun nggak ada yang bisa nahan gue samahalnya mereka yang nggak tau sesakit apa yang udah gue rasain."

"Bahkan persahabatan kita? Apa lo pikir hanya karena masalah kita berdua mereka semua pantes dapat imbasnya? Lo nggak Setega itu 'kan Bang?"

Mahesa terdiam. Ia hanya mampu memandang kearah deretan gedung tanpa bisa berkata-kata. Tapi meskipun begitu, dikepalanya selalu diisi keramaian yang tak habis-habis.

"Apa nggak cukup Bang Mahesa benci sama gue aja?"

"Gue nggak benci-

Mahesa berhenti, tepat ketika ia bicara, emosinya naik dan kehilangan kemampuan bicara. Takut jika ia melanjutkan, yang Haikala dengar adalah suara getaran dibarengi tangis. Tidak, Mahesa tidak ingin Haikala mendengarnya. Lantas dengan tarikan nafas panjang, ia mengusap matanya yang basah, lantas melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.

"Gue nggak benci lo, Kal. Gue cuma nggak mau buat Kara terombang-ambing lagi karena masih ada gue dikehidupannya. Gue emang harus pergi, karena gue yakin ini juga bakal lebih memudahkan Kara buat mencintai lo dengan lebih baik. Tanpa unsur paksaan, tanpa merasa nggak enak dengan gue yang notabenenya sampai kapanpun nggak akan pernah bisa ngelepasin dia. Kal, gue nggak sanggup, lo boleh bilang gue pengecut."

1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang