"Kara, janji abis kupeluk nggak nangis lagi?""Asal kamu jangan bawa aku ke luka-luka kita dibelakang sana. Aku nggak bakal nangis."
"Janji?"
"Janji, Kal."
Padahal baru tadi pagi Kara mengatakan janji itu, padahal baru beberapa jam yang lalu ia mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak akan menangisi apapun. Mereka berdua sudah sepakat untuk menjalani semuanya perlahan-lahan, meninggalkan kenangan pahit dibelakang sana, melupakan segala ketakutan dan kebencian yang sempat hadir.
Tapi sore ini, ketika panas terik masih mengoyak seluruh isi bumi, Kara berlari tergopoh-gopoh menyusuri koridor rumah sakit dengan perasaan sesak. Dalam dekapannya, ada Miko yang terus bertanya-
Kenapa mama menangis?
Ada apa?
Ayah dimana?
Sedangkan menjawab, menangis saja ia sudah tak bersuara. Sesak dalam dadanya terasa seperti ditimpa sebongkah batu besar, ia kesakitan.
"Ra .... "
Lantas, didepan pintu ICU yang tertutup rapat, wajah nelangsa Rendra menyambutnya. Ada memar keunguan di pelipisnya, tapi ketimbang bertanya darimana lebam itu ia dapatkan, Kara lebih memilih untuk mendekati pintu tersebut dengan perasaan hancur lebur. Ia terduduk disana ketika tangan Rendra menyambut Miko, memindahkan bocah itu kepadanya.
"Haikal-" Kara tidak melanjutkan, ia menatap satu persatu orang disana, berantakan. "Suamiku dimana?"
"Ra ..., istighfar ya, Ra. Baca do'a, alfatihah, Haikala pasti baik-baik aja."
Tapi bisakah ia percaya pada mereka semua? Sedangkan dari tatapan yang ia lihat, yang tampak hanya kesedihan.
Dari semua orang, Jonathan mengambil langkah besar untuk mendekati Kara. Ia tak punya pilihan, sebab sehancur apapun ia hari ini, ia tahu bahwa Kara adalah yang lebih butuh ditenangkan. Lantas, dengan tangan yang masih menyisakan beberapa luka gores dan beberapa noda darah, ia mengangkat bahu Kara untuk meninggalkan pintu ICU, duduk ditempat yang lebih pantas, meski rasanya akan selalu sama, dingin dan hampa.
"Zikir, Ra." Kata Jonathan sambil mengusap bahu perempuan itu. "Allah nggak tidur."
Kara hanya menurut, sebab ia tak punya pilihan lain hari ini. Hatinya sangat terpukul, tapi lagi dan lagi, tidak bisa berbuat apa-apa.
Waktu berlalu membawa sore yang terik berganti menjadi jingga yang sendu. Seolah turut menggambar kepedihan mereka semua.
Setelah menunggu beberapa lama, pintu ICU terbuka. 4 orang keluar dari sana, lantas salah satunya berhenti ketika Jonathan menghadangnya.
"Keluarga saudara Narda dan Haikala ya?"
"Saya, Dok." Jonathan menyahut.
"Boleh ikut keruangan saya, Mas? Kita bicara disana. Pasien masih dalam perawatan, keluarga tidak bisa langsung menemui pasien ya. Mohon pengertiannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]
Roman d'amour[SUDAH TERBIT, PART MASIH LENGKAP] Aku, kamu, dia bahkan semesta tidak akan pernah bisa mengatur hati semua orang bahkan cinta didalamnya. Maka alasan Haikala bertahan adalah untuk tidak menyalahkan siapapun, meski setelah ia memutuskan untuk menika...