46- Sepenggal kisah

21.2K 2.1K 65
                                    

"Kita akan bertemu lagi, pasti."

-Teman sejiwa

Pagi-pagi sekali, Jinan sudah keluar dari rumah dan duduk disalah satu bangku dihalaman. Ia menatap nanar pada daun-daun bunga matahari yang masih berembun, sesekali tangannya yang raksasa mengambil beberapa pot bonsai yang berserakan, menatanya kembali pada tempat semula.

Padahal, Jinan bukanlah sosok yang peka pada hal sekitar. Ia lebih acuh tak acuh, boro-boro membenarkan tanaman, kucing mengacak makanan di piring Cakra saja dia tidak peduli.

Tapi kali ini, dipagi yang buta, Jinan dibangunkan dengan kegelisahan yang panjang. Ketika melihat pot pot bonsai itu berada dibawah, hatinya seolah bicara bahwa dia harus segera mengembalikannya ketempat, agar si Tuan tidak marah padanya ketika pulang nanti. Matanya masih bengkak, sisa tangisan semalam masih tersisa di kedua matanya. Ini sudah hari keempat sejak kepergian si Tuan pemilik pohon bonsai yang baru saja ia bereskan, tapi laki-laki itu masih sering menangis jika menemukan sesuatu yang berhubungan dengan Haikala. Disuruh pulang tidak mau, tetap tinggal dirumah Haikala bersama teman-temannya juga bikin orang lain khawatir.

Jadi maumu apa, Nan?

"Abang," ia memanggil. Iya, yang ia mau hanyalah laki-laki itu, Jinan ingin Haikal pulang. "Bonsainya ikutan sedih ditinggal Abang pergi, mereka nggak keurus." Tangan besar itu mengusap bagian pot, menepis sisa-sisa tanah yang menempel.

Sampai hari ini, Jinan sangat tahu bahwa meratapi kepergian tidak akan membuat Haikala pulang, tidak akan menghidupkan seseorang yang sudah mati. Namun untuk sekedar bangkit dan bicara pun- Jinan tidak punya tenaga untuk itu. Maka ia berakhir disini, disaat beberapa orang didalam sana masih bergusal dibawah selimut mereka, atau mungkin sedang menangis seperti dirinya.

Jinan memandangi sekitar halaman. Ada jalan setapak dari balok-balok batu yang disusun dipinggir rumah, deretan pohon Ketapang, pohon bunga matahari, deretan bonsai yang disusun dalam rak terbuka, tanaman menjalar di bagian belakang rumah. Yang pada akhirnya, dengan tatapan sayu yang memburam, Jinan beranjak dari tempat duduk dan pergi ke belakang.

Jinan terdiam beberapa saat ketika nayanikanya menemukan sebuah benda tergantung disalah satu tiang teras belakang, dikelilingi pohon menjalar, ada ayunan santai serta beberapa rak bonsai kecil dipinggiran. Teras belakang memang tidak begitu luas, tapi seingat Jinan, ia sering duduk disini jika datang berkunjung. Selain nyaman, bisa dijadikan tempat pelarian dari keributan yang ada. Tau sendiri lah bagaimana mereka kalau sudah berkumpul, ada saja yang hancur. Dan Jinan akan berakhir disini, menghindar dari ajakan Cakra main basket atau sekedar menemani Narda main di tenda Miko. Sungguh, abangnya yang satu ini memang sedikit aneh.

Ia duduk diayunan dan menyandarkan kepalanya pada bantalan yang tersedia. Kembali menatap ke atas dimana gantungan itu berada. Dalam hati, ia bertanya-tanya, sudah berapa banyak keluh kesah yang ia dengar selama ini?

"Abang biasanya duduk disini kalau pengen sendirian, nih, Abang kasih ke lo dulu biar nggak di paksa-paksa Cakra buat ikutan main Tenis meja." Dan hari itu, untuk pertama kalinya, Jinan seperti menemukan ruang rahasia.

"Sejak kapan ada tempat se PW ini dirumah lo, Bang?" Jinan kegirangan, dia benar-benar suka tempat ini. Memang letaknya dibelakang rumah, berdempetan dengan dinding, dikelilingi pot bunga. Tapi Jinan bisa jamin 100% ini adalah tempat terbaik dari semua ruangan di rumah Haikal.

Haikala yang kala itu ingin bergegas meninggalkan Jinan sebab ingin ikutan main tenis meja akhirnya menunda kepergian terlebih dulu, menyisihkan sedikit waktunya untuk bicara dengan adik paling bungsu diantara perteman mereka. Ya, lagipula Haikala jarang sekali ngobrol serius dengan Jinan, habisnya selain anaknya mudah kepikiran, Haikala tidak akan tega membagi rasa sakitnya pada bocah itu.

1. Semesta Dan Rumahnya [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang