5 | Nakula dan Rasanya

958 152 15
                                    

BAB 5
NAKULA DAN RASANYA



***



Kabalan, 1376 Masehi

Tak hanya diapit oleh gunung-gunung suci yang megah, Kabalan berada tepat di lereng sebuah gunung purba. Gunung Malang, namanya. Gundukan tanah tinggi ini membujur di daerah timur Gunung Kawi, bersifat sebagai gunung mati yang tidak memiliki aktivitas vulkanik. Ken Arok pernah mengunjungi wilayah ini semasa mudanya. Sang pendiri Wangsa Rajasa pernah berkelana menuju daerah Turyantapada (sekarang Turen) untuk menimba ilmu mengenai pengrajin emas kepada Mpu Palot. Sri Ranggah Rajasa dengan cepat menguasai seluruh yang diajarkan Mpu Palot, membuat sang guru yang kemampuannya terbatas menyarankan dirinya untuk pergi ke Kabalan dan berguru kepada Buyut Kebalon yang juga merupakan guru Mpu Palot. Penduduk sekitar Kabalan tidak mempercayai Ken Arok karena reputasinya sebagai pembawa onar dan menolak kehadirannya di desa mereka.

Maka dari itu, murkalah Sri Ranggah Rajasa dan bersabda bahwa akan ada lubang di tempat orang yang tengah bersemedi. Dan benar saja, ada lubang besar di tempat para pertapa biasanya bersemedi. Terjadi huru-hara, para pertapa berbondong-bondong membawa keris dan hendak memburu Ken Arok, serta memukulinya. Namun, sebelum hal tersebut terjadi terdengar suara dari kayangan yang meminta para pertapa untuk tak membunuh Ken Arok sebab lelaki itu adalah putra para batara dan memiliki pekerjaan besar di dunia. Kusumawardhani hafal betul kisah tersebut karena sejauh ingatannya, sang ayahanda banyak menceritakan tentang Kabalan begitu sang rajakumari ditunjuk sebagai raja mandala yang berkuasa di sana.

Begitu sampai di keratonnya, Kusumawardhani langsung mengagumi pemandangan yang tersaji dari teras keraton. Selepasnya, perempuan muda itu mengganti pakaiannya dengan Mahabhusana Rajakaputrian Wilwatiktapura yang biasanya dikenakan oleh permaisuri dan putri mahkota, serta raja mandala wanita. Kembannya berwarna merah gelap, sedangkan jariknya bermotif kawung dengan warna cokelat tua, tak lupa dengan selendang tipis—sasampur—yang senada dengan kembennya melilit pinggang langsing sang rajakumari. Perhiasan yang dikenakannya menyilau mata. Semua adalah pemberian dari sang ayahanda atas kepindahannya ke Kabalan. Kalung, anting-anting pemberian Naradhiptawardhana, gelang di lengan, hingga nupura di kaki lengkap ia gunakan. Terakhir, ia menatap mahkota yang dibuat langsung oleh pengrajin emas pilihan Sri Rajasanagara. Terdapat motif bunga wijayakusuma di makuta-nya, sesuai dengan nama Kusumawardhani yang berarti bunga keturunan raja.

Dibantu oleh Tustika dan dayang-dayang lain, Kusumawardhani mematut dirinya di depan cermin. "Pilihan ayahanda memang tidak pernah salah."

"Benar, Paduka Kusumawardhani tampak semakin cantik mengenakan seluruh perhiasan itu," puji Tustika yang selalu menemani sang rajakumari. Ia berusia delapan tahun lebih tua daripada Kusumawardhani, ibunya adalah salah satu dayang senior di keraton. Sejak Kusumawardhani balita, Tustika ditugaskan sebagai teman bermain sang rajakumari yang saat itu masih belum memiliki teman perempuan yang sepantaran. Singkat cerita, kini ia menjadi dayang yang paling disayangi dan dekat dengan putri sulung Hayam Wuruk.

"Namun, semua ini berat. Bisakah kau membayangkan membawa mahkota yang tidak ringan di atas kepala? Pantas saja ayahanda sering mengeluh pusing," desah Kusumawardhani sembari membenarkan letak mahkotanya yang sedikit miring. "Juga, perhiasan yang amat banyak ini membuat langkahku terhambat. Aku tidak pernah terbiasa sejak pertama kali mengenakan busana ini."

"Apalah artinya berat jika Paduka Rajakumari bisa tampil cantik?"

"Menurutku, kecantikan tidak bisa dilihat dari fisiknya saja."

RajakumariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang