6 | Wewangian yang Memabukkan

860 147 24
                                    

BAB 6
WEWANGIAN YANG MEMABUKKAN



***



Kabalan, 1376 Masehi

Keraton Kabalan terletak tidak jauh dari pemukiman para bangsawan di nagari vassal tersebut. Kebanyakan bangsawan yang bermukim di sana adalah bangsawan pejabat, bukan bangsawan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan raja. Tak jauh dari keraton tersebut, terdapat sebuah tempuran, yakni pertemuan antara Amprong dan anak sungainya, Jilu. Kusumawardhani berkeliling keraton kemarin sore untuk mengetahui lebih dalam tentang tempat yang akan ditinggalinya selama beberapa saat hingga kembali ke Trowulan untuk menjadi seorang rajaputri kelak. Secara keseluruhan, Keraton Kabalan dibangun semirip mungkin dengan tempat tinggal sang maharaja di Trowulan. Namun, entah seberapa miripnya dengan tempat tinggalnya terdahulu, Kusumawardhani masih merasa asing, sekaligus nyaman. Hawa sejuk di musim kemarau ini jelas tidak bisa ia temukan di ibukota Majapahit.

Musim kemarau tiba, hawa sejuk melebihi saat penghujan dan matahari baru akan terasa menyengat jika menjemur diri di bawah langit. Kusumawardhani menikmati semuanya. Namun, untuk hari ini ia tidak ingin berdiam diri di dalam keraton. Ini masih hari keduanya di Kabalan, tetapi sang rajakumari ingin melihat aktivitas rakyatnya dan melihat secara langsung keadaan di selatan Sungai Amprong. Pagi hari saat matahari baru menampakkan separuh wujudnya, Kusumawardhani memerintahkan Tustika untuk membawa sepasang kemben dan jarik sederhana ke ruangannya.

"Untuk apa, Paduka? Aduh, ini baru hari kedua di Kabalan, tetapi Paduka sudah ingin membuat masalah?" tanya Tustika dengan raut tidak percaya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir Kusumawardhani.

Alis sang rajakumari bertautan. "Membuat masalah bagaimana?"

"Duh, Gusti. Apa pindah ke Kabalan membuat otak Paduka Rajakumari sedikit mengsle (miring)? Dulu di Trowulan, Tuan Putri Mahkota sering pergi menyelinap keluar keraton bersama Paduka Naradhiptawardhana di luar pengawasan Hamba dan Taraksa. Sekarang, apakah Paduka Kusumawardhani hendak melakukan kesalahan yang sama?" Tustika merengek dengan wajah memelas, mengharap sang rajakumari tidak melakukan hal-hal yang aneh di Kabalan. Meskipun di sini tak ada Hayam Wuruk yang akan memarahinya jika Kusumawardhani ketahuan menyelinap pergi, tetap saja dirinya telah dibuat bersumpah oleh sang maharaja untuk melindungi sang putri mahkota.

"Memangnya kau pikir sekarang aku akan pergi tanpa pamit?"

Tustika mengangguk. "Iya, Paduka."

"Demi Sang Hyang, Tustika, Tustika. Bagaimana bisa kau menjadi dayang terdekat sekaligus sahabat jika tidak memahamiku? Jika aku hendak pergi diam-diam tanpa pamit seperti di Trowulan dulu, untuk apa aku memerintahkanmu mengambil pakaian sederhana untukku? Aku bisa melakukannya sendiri secara diam-diam jika ingin menyelinap," ucap sang rajakumari gemas. Ia menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana bisa Tustika yang sudah mendampinginya selama belasan tahun masih tidak menyadari kebiasaannya?

"Oh begitu, ya, Paduka? Kalau begitu, apa ini artinya Hamba boleh ikut?"

"Kupikir menambah satu personil tidak masalah."

Tustika terlihat amat bahagia ketika mendengar izin dan persetujuan dari Kusumawardhani. Ini pertama kalinya sang rajakumari membiarkan dirinya ikut serta jika pergi keluar keraton. "Baiklah jika begitu, Paduka. Hamba akan menyiapkan pakaian Paduka dan meminta Taraksa bersiap-siap."

"Tidak." Kusumawardhani menggeleng tegas. "Taraksa tidak akan ikut. Cukup kita berdua saja. Akan terlihat sangat mencolok jika ia dan yang lain berada di belakang kita. Untuk apa dua dayang dari keraton dikawal oleh prajurit bhayangkara?"

RajakumariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang