36 | Trinanda dan Bendungan Tua

587 93 12
                                    

BAB 36
TRINANDA DAN BENDUNGAN TUA



***



Malang, 9 November 2020

Pukul enam pagi, Sri baru saja keluar dari kamar mandi ketika sang ibu meminta tolong untuk mengembalikan alat pengukur tensi ke rumah sang paklik. Kuncoro tidak libur hari ini, sedang memantau sebuah proyek yang berlangsung di perusahaannya. Oleh karena itu, sang bapak tidak bisa mengembalikan barang yang dibutuhkan secara mendadak oleh adiknya itu. Sri meminta bantuan kepada Dipuy, tapi ternyata sahabat lelakinya itu hendak "menabung" di pagi hari yang cerah ini.



Sri Payudani
Puy, aku boleh minta tolong untuk diantarkan ke rumah paklik?
Aku mau mengembalikan alat pengukur tensi.


Dipuy Rajasanagara
Waduh, aku lagi kebelet beol.
Dianterin Tri saja, bagaimana?
Habis ini dia berangkat ke rumahmu.


Sri Payudani
Roger.
Thank u.
Jangan lupa disiram ya jambannya.



Sri sedang memakai sandal begitu suara motor Tri terdengar di depan rumahnya. Sejujurnya, Sri masih merasa sedikit kikuk kepada pemuda itu semenjak kemarin sore. Namun, apa daya. Hanya Tri yang bisa mengantarnya. Eka bisa, tapi kata Dipuy, Tri menawarkan diri dengan sukarela. Gadis itu ingin membicarakan banyak hal dengan Tri, tetapi bingung untuk memulai dari mana. Ada terlalu banyak kepingan puzzle yang memiliki posisi amburadul di pikirannya. Akan butuh banyak waktu untuk menyusunnya secara runtut. Itu pun kalau kewarasannya masih bisa dipertahankan.

"Pagi-pagi kok sudah lesu, Mbak?" tanya Tri saat melihat Sri tak memiliki semangat untuk memakai helm dan duduk di jok belakang motornya.

Gadis itu mengulum paksa sebuah senyuman, berpegangan erat kepada bahu Tri saat menaiki motor trail milik Eka yang nanti mereka gunakan untuk berpergian ke coban. "Biasa. Baru patah hati."

"Gara-gara Mas Ken?" tanya Tri lagi.

Dari spion, pemuda tersebut bisa melihat raut muka Sri yang menahan tangis. Tri tahu, semalam suntuk pasti Sri memikirkan skenario hubungannya dengan Ken di kehidupan yang lalu. Dan Sri menjawabnya dengan sebuah embusan napas, lagi-lagi mengukir senyum palsu di wajahnya. "Siapa lagi kalau bukan dia?"

"Bisa jadi Hayam Wuruk," lanjut Tri sembari mulai melajukan motornya menuju rumah paklik Sri yang sudah ia hafal betul jalannya. "Dia selalu mematahkan hati perempuan-perempuan yang ada di sekitarnya. Sudewi, Dyah Pitaloka, Nilamsari, Dyah Gauri, dan bahkan putrinya sendiri."

Mata sayu Sri terbelalak. Gadis itu mencengkram erat-erat bahu Tri, mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat raut wajah Tri yang dipantulkan kaca spion. Jantungnya kembali berdetak tak karuan, nyaris keluar dari rongga dada. Namun, yang ia dapati adalah wajah tanpa ekspresi milik Tri yang selalu menyembunyikan sesuatu dari Sri. "Apa maksudmu, Tri? Kenapa kamu bisa mengenal Dyah Gauri? Kamu ... kamu tahu sesuatu, 'kan?"

Hening.

Tri tidak pernah menjawab pertanyaan itu, dan Sri terlalu malas untuk kembali menodongkan pertanyaan yang sama. Percuma saja ia membuang-buang waktu untuk hal yang tidak akan membuahkan hasil. Tri adalah definisi dari batu yang hidup. Keras kepalanya seperti batu. Diamnya juga seperti batu. Dan Sri, tidak bisa mengetuk hati batu Tri untuk mendapatkan jawaban yang diinginkan. Gadis itu memegang erat pinggang Tri kala pusing kembali mendera. Lihat, bahkan kepala Sri pening seperti terantuk batu raksasa. Batu raksasa itu adalah keterdiaman Tri.

RajakumariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang