9 | Ah, Kena Tipu

554 121 13
                                    

BAB 9
AH, KENA TIPU



***



Kabalan, 1378 Masehi

"Sudah dua tahun berlalu, kau masih belum maju-maju. Danan, Danan, apa maumu?" tanya Gandhi kesal. Lelaki itu sedang memberi pakan ayam-ayamnya yang berkeliaran di pekarangan rumah ketika Dananjaya sedang asyik melamun di dipan depan rumahnya. Sang pengrajin emas itu tadinya tengah berada di perapian bersama ayahnya, membuat beberapa karya yang dikenal memiliki kualitas terbaik seantero Wilwatikta. Namun, Dananjaya memutuskan untuk beristirahat sejenak setelah dari pagi buta membanting tulang.

Pemuda itu sepertinya tidak mendengar sindiran Gandhi yang sudah lama menanti janji Dananjaya untuk segera ditepati. Sejak setahun yang lalu, Dananjaya selalu saja mengulur-ngulur waktu. Gandhi jadi gemas sendiri ketika melihat tetangganya itu selalu kucing-kucingan ketika berpapasan dengan Tustika di pasar atau di tempat lain. Dan selama satu tahun ini, yang mengetahui perasaan Dananjaya terhadap sang dayang hanyalah Gandhi dan Ki Betot. Pemuda itu amat bersyukur karena keduanya tak membocorkan rahasia itu. Ia takut Tustika diberi tatapan tidak mengenakkan oleh para gadis yang mengidolakan dan menyukai dirinya.

Gandhi semakin gondok karena Dananjaya tidak menanggapinya. Lelaki itu lantas melemparkan pakan ayamnya ke arah sang pengrajin emas, membuat beberapa peliharaannya langsung mengepakkan sayap untuk memburu makanan mereka. Tak ayal, ayam-ayam tersebut mematuki Dananjaya yang tengah melamun karena pakannya terselip di antara tubuhnya, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Bukannya meminta maaf, Gandhi malah tertawa terbahak-bahak dan mengabaikan tetangga lain yang mungkin saja terganggu di pagi hari yang damai ini.

"Walah dalah, Kangmas Gandhi ini lho, sepertinya hidupnya tidak akan tenang kalau sehari saja tidak menggangguku," keluh Dananjaya sembari mengusir jauh-jauh ayam yang mengganggu lamunannya. Alisnya yang seperti celurit itu menukik tajam, beriringan dengan kerutan di sekitar wajah tampannya yang menunjukkan kekesalan sang pemuda.

"Habisnya kamu melamun terus, diajak bicara tidak menyahut," sarkas Gandhi yang kemudian kembali memberi pakan ayam-ayamnya yang telah pulang ke rumah. "Kapan kamu akan menghampiri Tustika? Sudah dua tahun suka diam-diam, apa tidak lelah? Pathya dan gadis-gadis lain saja gencar mendekatimu."

Dananjaya memanyunkan bibirnya. "Aku masih belum menemukan cara yang pas untuk mendekatinya. Haruskah aku berpura-pura tidak melihat jalan dan menabraknya? Namun, jika begitu, Tustika bisa jadi membenciku karena mengganggu ketenangannya."

"Ah, aku tahu." Gandhi tersenyum ceria, menemukan sebuah ide yang cemerlang. "Bagaimana kalau kita merencanakan sebuah kecelakaan? Aku akan berpura-pura menyiram air ke tubuhnya, lalu kau datang untuk menyelamatkannya dari guyuran air. Oh, atau kita bisa meminta bantuan Ki Betot untuk menukar wewangianmu dengan milik Tustika agar kau memiliki kesempatan untuk berbincang dan berkenalan dengannya. Astaga, pandai sekali aku ini. Kalau aku terlahir di kasta kesatria, sudah pasti aku menduduki posisi yang tinggi di pemerintahan."

Tertawa, Gandhi memuji kejeniusannya sendiri. Ia memang cocok menjadi makcomblang, bisa memikirkan banyak cara untuk mendekatkan kedua insan Sang Pencipta yang bisa jadi menjadi pasangan dalam sebuah hubungan romansa. Sementara itu, Dananjaya menggeleng tanda tidak menyetujui ide Gandhi yang terlalu pasaran dan cenderung tidak menimbulkan sebuah kesan. Terlebih, menurut penuturan Ki Betot, Tustika lebih banyak berpikir menggunakan logika daripada hati. Perempuan sehebat itu mana mungkin terkesima dengan cara yang biasa-biasa saja.

"Tidak, tidak. Itu adalah ide yang buruk. Sudahlah, aku akan mencari caranya sendiri. Kangmas Gandhi tidak perlu ikut campur dan tunggu saja tanggal mainnya," tolak Dananjaya halus.

RajakumariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang