BAB 35
WANWACARITA (2)
***
Malang, 8 November 2020
Setelah menangisi takdir hidupnya yang menakjubkan, Sri tertidur dengan pulas. Gadis itu didera pusing hebat, jatuh ke pelukan kasur sebelum orangtuanya tiba di rumah. Pagi tadi, Sri sibuk mengompres kedua matanya menggunakan sendok yang telah didiamkan di dalam lemari es. Hingga sore menjelang, gadis tersebut masih termenung di ruangannya. Walau bersedih dan depresi, Sri tak lupa makan. Ia tak ingin mati kelaparan mengingat masih ada banyak hal yang perlu diperbaikinya sebelum diperbolehkan beristirahat selama-lamanya oleh Sang Pencipta.
Mati saat ini tidak akan memperbaiki segalanya, yang ada malah memperparah keadaan.
Sri ingin menyelesaikan semua karmanya di kehidupan ini, sehingga dirinya di kehidupan yang selanjutnya bisa berleha-leha tanpa mendapat serangan di dalam kedamaiannya.
Sembab di matanya sudah mengempis ketika sang ibu memerintahkan putri semata wayangnya itu untuk mengunjungi kediaman Gangsar dan Pudji. Sepulangnya dari Kota Batu kemarin, Indah dan Kuncoro membawa beberapa plastik besar jajanan tradisional Kota Batu yang bernama ladu. Sri sudah menghabiskan satu plastik seharian ini, menikmati sensasi nostalgia karena ladu adalah jajanan tradisional yang sudah jarang dikonsumsinya. Pembuat ladu di Kota Batu sudah banyak berkurang jumlahnya, sebab itu ladu sudah jarang ditemui di pasaran. Dan Sri mengunjungi rumah sang sahabat sambil menenteng plastik penuh jajanan yang terbuat dari tepung beras ketan terbaik itu.
Pudji yang membukakan pintu rumah, membuat Sri bercelingak-celinguk mencari keberadaan tiga bersaudara yang tak terdengar suaranya. Jika Sri datang, yang paling sering membukakan pintu adalah Tri. Maka dari itu, sang gadis sedikit keheranan karena Tri tidak terlihat batang hidungnya.
"Ini Budhe, ada oleh-oleh dari Batu. Omong-omong, Tri dan kakak-kakaknya lagi pergi, ya?" tanya Sri selepas menyerahkan sekantong plastik makanan yang dibawanya. Mama dari tiga lelaki yang tampan itu pun mengulum senyum, rautnya terlihat semringah karena gadis yang ia harapkan menjadi istri salah satu putranya datang ke kediaman mereka.
"Wah, terima kasih. Budhe sudah lama ndak makan ladu. Trio gaduh ada kok di dalam. Lagi berkumpul di kamarnya Tri. Sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu. Masuk saja, Sri. Kalau-kalau mereka bertengkar, tolong langsung dilerai, ya." Pudji membukakan pintu lebih lebar agar Sri bisa langsung masuk dan merecoki tiga bersaudara yang tumben-tumbennya betah berada dalam ruangan yang sama.
Tak banyak bertanya, gadis itu memasuki kediaman tiga bersaudara dan menaiki tangga. Kamar Eka, Dipuy, dan Tri terletak di lantai dua. Sri yang sudah hafal betul denah rumah sang sahabat, tak kesulitan untuk menemukan kamar Tri yang berada di ujung. Kamar bernuansa biru langit itu berada di seberang kamar Dipuy yang sering dijadikan markas oleh Sri. Di kamar Dipuy pula, Sri pernah menangis menjerit-jerit saat lampu mati di usia yang muda dahulu. Namun, tak ada yang mendengarnya. Seakan-akan Sri raib dan tersesat di dunia lain. Bahkan, Tri yang saat itu mendekam di kamarnya pun mengaku tak menyadari suara berisik yang diciptakan oleh Sri.
Begitu memasuki kamar Tri, Sri langsung melengos. Gadis itu duduk di sela-sela Tri dan Dipuy yang tengah fokus pada layar televisi tanpa berkedip. "Kukira kalian berdua sudah benar-benar akur untuk berkumpul dalam ruangan yang sama dalam waktu yang cukup lama dan jinak di bawah pengawasan Mas Eka. Tidak tahunya sedang bermain PES. Football brings men together, huh?"
"Hahaha ... mana mungkin. Mereka jinak hanya padamu, Sri. Tadi saja, keduanya baru bertengkar karena merasa salah satu dari mereka ada yang curang. Alhasil aku berperan sebagai wasit walau game-nya otomatis sudah jadi juri," timpal Eka yang tengah duduk manis di atas kasur milik adik bungsunya. Lelaki yang sebentar lagi lulus dari salah satu perguruan tinggi bergengsi di Indonesia itu selalu menjadi yang paling kalem di antara tiga bersaudara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rajakumari
أدب تاريخي[Cakrawala Mandala Series #4] Hayam Wuruk tak rela melepas putri kesayangannya untuk memerintah di Kabalan, mengurung sang putri mahkota selama tujuh belas tahun lamanya di dalam Keraton Trowulan. Setelah diberikan kebebasan, Kusumawardhani ingin me...