11 | Bukan Jantung Pisang

542 109 8
                                    

BAB 11
BUKAN JANTUNG PISANG



***



Trowulan, 1378 Masehi

"Bisakah kau meluangkan waktu untuk Kangmas, Adinda Kusumawardhani?"

Tirai emas di awang-awang yang disibak oleh Sang Surya setiap paginya, kini digantikan oleh gorden biru segelap lautan oleh Batara Candra yang melintasi cakrawala dengan antelop sebagai penarik kereta kencana miliknya. Dua puluh tujuh pasangan sang pemilik malam sudah menggantung di langit, para anaksatra berjajar rapi membentuk sebuah konstelasi. Jangkrik mulai menampakkan suaranya, bak mendongengkan sebuah kisah guna mengantar tidur. Perjamuan dibubarkan, sebab sang pemilik acara hendak menghabiskan malam romantis. Satu per satu tamu undangan kembali ke peristirahatan, tak terkecuali Kusumawardhani yang berbalik menuju ruangannya bersama para dayang dan beberapa prajurit bhayangkara yang mengekorinya.

Namun, Wikramawardhana memanggilnya dari kejauhan, membuat sang rajakumari membalikkan badan dan mengulum sebuah senyum tipis untuk menyambut sang tunangan yang keberadaannya tak diinginkan. Para dayang dan prajurit langsung membelah diri, memberi jalan kepada Bhre Mataram untuk menghampiri sang tulang rusuk dan jantung hatinya. "Berjalan-jalanlah bersama Kangmas, sebagai pengganti waktu di sore hari tadi yang telah hangus. Aku amat sangat merindukanmu, Kusumawardhani. Tak semalaman pun tak mengapa, aku ingin menghabiskan waktu berdua bersamamu, walau hanya untuk sesaat."

Janji adalah janji. Kusumawardhani akan menepatinya. Daripada Wikramawardhana terus mengundat-undat, lebih baik ia tuntaskan malam ini sekalian. "Baiklah, Kangmas. Lagipula aku telah berjanji. Hendak ke manakah Kangmas mengajakku berjalan-jalan?"

"Hanya di sekitar keraton, tetapi jika kau ingin mengunjungi tempat lain, itu adalah sebuah kehormatan bagiku untuk mengikuti setiap langkahmu," balas Wikramawardhana dengan senyuman semringah. Cahaya di wajahnya telah kembali. Setelah gagal berduaan dengan sang pujaan hati dan bertengkar dengan Naradhiptawardhana sore tadi, baru detik inilah ia merasa kebahagiaan menyapanya kembali setelah bertahun-tahun diliputi kesedihan dan kesendirian. Selama Kusumawardhani berada di Kabalan, Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama merasa bahwa tunangannya sama sekali tak mempedulikan dirinya dan jarang membalas surat yang ia kirimkan. Hanya dari Taraksa, Bhre Mataram mengetahui keseharian dan kegiatan yang dilakukan oleh sang rajakumari.

"Aku ingin mengelilingi Keraton Trowulan saja, rindu dengan suasananya."

Kedua pasang kaki mereka melangkah beriringan begitu Wikramawardhana mengutus para dayang dan prajurit yang mengikuti mereka untuk membubarkan diri, membiarkan dua sejoli itu menghabiskan waktu bersama, mungkin untuk semalam suntuk. Berjalan berdua seperti ini saja sudah menjadi sebuah anugerah bagi Bhre Mataram. Bagi pemuda itu, menghabiskan waktu bersama adalah bahasa cintanya. Bersama Kusumawardhani, Wikramawardhana merasa dunia ada dalam genggamannya. Oh, seandainya sang rajakumari membalas cintanya, pasti ia bisa mengubah Wilwatikta menjadi khayangan yang berdiri di bumi dan membuat para dewa murka karena keindahan persemayamannya ditandingi oleh dunia yang lelaki itu ubah. Sayangnya, pepatah witing tresna jalaran saka kulina yang dipegang teguh olehnya, tidak memiliki pengaruh untuk mencuri hati Bhre Kabalan.

Suara jangkrik menderu semakin kencang, seakan-akan bersembunyi di balik daun telinga mereka. Wikramawardhana membisu. Dirinya tengah menikmati sensasi letupan-letupan dahsyat di relung dadanya yang sudah lama mendambakan kebersamaan bersama putri dari pamannya itu. Kusumawardhani sendiri membenci keheningan itu. Katanya, mereka melakukan jalan-jalan untuk berbincang. Mana? Tak ada suara yang terdengar dari bibir Wikramawardhana yang terlihat sama menariknya dengan para lelaki keturunan Sri Ranggah Rajasa dan Tunggul Ametung yang lain.

RajakumariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang