8 | Dia, Hema Dananjaya

594 127 2
                                    

BAB 8
DIA, HEMA DANANJAYA



***



Kabalan, 1377 Masehi

"Tustika, oh Tustika. Membuat seorang Dananjaya melamun saat fajar tiba. Tustika, oh Tustika. Di manakah engkau? Dananjaya merindukanmu. Tustika, oh Tustika. Aromamu bagaikan semerbak wijaya kusuma yang membuat Dananjaya dimabuk kepayang. Tustika, oh Tustika. Kemarilah, rawatlah Dananjaya yang mendem semir akan keberadaanmu."

Suara itu terdengar nyaring di telinga Dananjaya yang tengah duduk di dipan di halaman rumahnya saat burung-burung berkicau dan ayam berkokok untuk membangunkan para manusia. Di saat yang lain baru beranjak bangun dari ranjangnya, Gandhi malah mendapati lelaki yang usianya lebih muda empat tahun darinya itu melamun dan mengulum senyuman malu-malu seorang diri.

Untuk mengembalikan kesadaran Dananjaya, Gandhi sengaja seakan-akan membaca sebuah parikan (puisi). Puisi yang diciptakan secara dadakan oleh Gandhi itu tidak salah, Dananjaya memang sudah gila karena mengingat kejadian seminggu yang lalu saat dirinya lagi-lagi melihat pujaan hati, Tustika, berkunjung ke pura.

Senyuman di wajah Dananjaya langsung luntur, matanya menatap masam Gandhi yang tengah berdiri di depan pintu gerbang rumahnya. "Halah, Kangmas Gandhi tidak bisa melihat orang senang sedikit. Pasti Kangmas iri karena masih belum mendapatkan jodoh meskipun sudah semakin tua. Mengaku saja, Kangmas, cek aku duwe bahan gawe nggojloki sampeyan (supaya aku punya bahan untuk membercandai kamu)."

"Walah dalah." Di luar dugaan, Gandhi malah tertawa seraya menghampiri lelaki yang telah dianggapnya sebagai adik itu. "Sing ana, aku sing nggojloki awakmu, Nan, Danan. Gayane kayata uwong sing uwis kate rabi, lha wong nyedhak wae ora wani (yang ada, aku yang membercandai kamu, Nan, Danan. Gayanya sudah seperti orang yang akan menikah, padahal mendekat saja tidak berani)."

"Bukannya tidak berani, hanya bingung bagaimana caranya supaya bisa dekat," desah Dananjaya.

Selama setahun belakangan ini dia saat ingin mendekati Tustika, tetapi bingung dengan cara apa. Setiap ada kesempatan untuk mendatangi Tustika ketika mereka berpapasan di suatu tempat, Dananjaya akan mengulur-ngulur waktu hingga semuanya hangus. Menurutnya, akan sangat aneh jika tiba-tiba sok akrab kepada gadis yang dikaguminya itu.

"Tinggal menyapa, lalu mengobrol. Apa susahnya?" tanya Gandhi.

"Permasalahannya adalah Tustika sepertinya lebih tua dariku. Aku takut dia melihatku sebagai bocah lelaki yang hanya berniat bermain-main dengan hatinya, juga aku bingung untuk mendekatinya dengan cara apa."

"Siapa yang mengatakan jika Tustika lebih tua darimu?"

"Aku."

"Itu hanya asumsimu, bukan? Bisa jadi salah."

Jika ditanya apakah Dananjaya membeberkan isi hatinya kepada orang-orang? Tidak, ia menyimpannya sendiri. Awalnya Gandhi juga tidak menyadarinya, sampai beberapa waktu yang lalu lelaki itu melihat sesuatu yang membuatnya bisa menggojloki Dananjaya, sahabat terdekat yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Ketika berada di pasar, tak sengaja Gandhi mendapati Dananjaya menatap seorang gadis tanpa berkedip, dengan mulut yang terbuka sehingga liurnya bisa turun kapan saja dan lalat memasuki gua manusia itu.

Dari sanalah ia mulai mendesak Dananjaya untuk menceritakan sejak kapan anak kepala pande emas itu menyukai seorang gadis yang diketahui bernama Tustika dan merupakan dayang kesayangan Bhre Kabalan.

RajakumariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang