Ketika matahari mulai menampakkan keberadaannya pada pukul enam kurang lima menit, Thalita terbangun dari tidurnya. Ia berusaha mengumpulkan nyawa-nyawanya setelah puas beristirahat. Lalu mengucek matanya yang sembab karena semalaman ia habis meratap.
Ia terdiam. Kembali mengingat pertanyaan Rafa tadi malam yang ia anggap masih sebagai luka. Luka batin yang sulit diobati. Masih menganga sampai saat ini.
Teringat kejadian 18 tahun yang lalu. Pada hari di mana Raydan---sang suami mengaku bahwa dia memiliki anak dengan perempuan lain. Hatinya terkoyak bagai kertas yang tanpa izinnya menyanyat sebagian kehidupannya.
Thalita sakit hati.
Berusaha bahwa apa yang terjadi hanyalah mimpi belaka.
Dia tahu. Dia memiliki sebuah kekurangan. Vonis tak akan bisa memiliki keturunan juga sama menyakitinya.
Saat itu pula Thalita sadar diri. Dirinya tak bisa membahagiakan Raydan sebagaimana laki-laki itu ingin sekali mempunyai anak. Ia mencoba bertahan di atas segalanya.
Hingga 8 tahun berlalu, ia masih berusaha meyakinkan hati dan dirinya, bahwa ia telah ikhlas menerima segala hal yang sudah terjadi.
Hari itu ketika Raydan pulang membawa seorang anak laki-laki berusia 8 tahun, Thalita merasakan hal yang berbeda. Anak yang wajahnya cemas tersebut, menarik perhatiannya.
"Ta, ini anakku, Rafael," ucap Raydan yang masih di depan pintu, dan merengkuh tubuh mungil Rafa. "Maaf kalau aku bawa dia ke sini untuk tinggal di rumah kita."
Thalita masih melihat Rafa dengan sorot matanya yang teduh. Ia pun berjongkok, menyelaraskan tubuh Rafa. "Iya gak apa-apa, aku senang. Halo, Rafa," dipanggil seperti itu, Rafa kecil mendongak. Dia juga sekilas melirik Ayahnya. Dan Raydan mengangguk untuk meyakinkannya.
"Rafa sudah makan?" tanyanya dengan linangan air mata yang mengambang di pelupuk. Namun senyum yang tak pudar dimakan ingatan.
Rafa kecil menggeleng pelan.
"Ibunya udah gak mau peduli lagi sama dia, Ta," celetuk Raydan sambil menunduk.
"Kamu udah cerita tadi malam, Mas," Thalita berdiri dari posisinya yang berjongkok. Lalu menatap Raydan dengan mata yang berkaca-kaca, "kalau ibunya udah gak mau mengurus Rafa, biar aku yang urus, Mas," katanya waktu itu dengan yakin. Tentu dari hatinya yang paling dalam.
"Ta, kamu yakin?" gugah Raydan nampak tak percaya.
"Seyakinnya kamu membawa dia ke rumah kita," Thalita kembali menatap Rafa kecil, "ayo, nak, kita masuk. Tante habis masak. Kamu lapar, kan?"
Rafa kecil mengangguk pelan. Ia kemudian menatap tangan Thalita yang terulur untuk digandeng. Ia sangat ragu awalnya. Apakah tangan itu juga akan menyakitinya seperti apa yang ibu kandungnya lakukan padanya?
"Jangan takut, tante gak akan gigit, kok." suaranya kembali keluar dan terdengar meyakinkan.
Uluran tangan Thalita diterima oleh Rafa kecil. Tautan pertama yang mampu menciptakan sebuah ikatan cinta yang amat sangat erat.
🥀
"Tante masak ini buat kamu, semoga suka, ya," kata Thalita lembut. Setelah mengajak Rafa kecil masuk ke dalam rumahnya, wanita itu langsung mengantarkan Rafa ke meja makan. Diikuti Raydan yang sedari tadi diam tak berbicara satu katapun.
"Kalo boleh tau, kamu suka makan apa?"
Anak laki itu menipiskan bibirnya, "apa aja," jawabnya dengan singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda untuk Rafa ✔️
FanfictionKetika Rafa yang tak lahir dari rahimnya, begitu memusatkan semestanya untuknya. Bunda yang berhati luas seluas samudra. "Jika dunia saya hancur, itu tandanya adalah Bunda sedang tak baik-baik saja."