Bab 8;

283 14 0
                                    

Bukan sekali dalam hidupnya Thalita ditinggalkan orang yang begitu ia cintai. Bukan. Raydan bukanlah yang pertama. Di usianya yang menginjak 14 tahun, ia pernah ditinggal oleh cinta pertamanya. Ayah adalah yang pertama yang ia kenal sebagai ayah terbaik di semestanya yang berawal baik-baik saja.

Saat itu ayah meninggalkannya dengan cara yang sangat amat pahit, sehingga segalanya menjadi kacau. Keluarganya mendadak hilang satu persatu.

Pernah ia dengar kata-kata seseorang; "Laki-laki itu dihitung kesetiaannya hanya satu persen. Sisanya mengendalikan diri untuk tidak tergoda dengan yang lain."

Ya, Thalita meyakinkan itu.

Ketika ayah pergi meninggalkan dirinya, Bunda, dan Kakaknya tuk meraih pelukan wanita lain, Thalita percaya akan hal itu. Thalita percaya, kesetiaan yang ayahnya miliki begitu hambar sehingga beliau termakan oleh kata-katanya sendiri.

Ayah pergi membentuk keluarga yang baru. Meninggalkan Bunda yang begitu tertekan hingga depresi yang dirasakan Bunda meluap mejadi ledakan dan berakhir meninggalkan percikan petasan untuk Thalita sendiri.

Bunda pergi. Bunda meninggal. Bunda mati. Dalam kondisi yang benar-benar tak bisa Thalita toleransikan bagaimana hancurnya Bunda saat itu. Wanita itu memutuskan untuk memotong pergelangan tangannya di separuh pikiran yang tak sehat. Bunda hilang akal. Sampai-sampai meninggalkan dua anak yang masih membutuhkannya. Di sepanjang waktu, Thalita ikut hancur. Hancur bersama kepingan kenangan maupun diri Bunda yang hilang.

Kakak laki-lakinya juga entah berada di mana sekarang. Thalita tak begitu peduli lagi. Dia tak ada beda dengan semuanya. Semua yang ada didekatnya, pasti akan menghilang dibawa angin yang seolah-olah tak menginginkan dirinya bahagia sekejap saja.

Thalita membungkuk perlahan di samping makam Bunda yang cantik karena selalu ia rawat dengan baik. Ia bayar petugas makam agar benar-benar membuat makam Bunda cantik setiap saat ketika ia sesekali menjenguk ataupun di setiap harinya. Sosok Bunda sangatlah cantik, jadi apa yang berhubungan dengan Bunda haruslah indah lebih dari sosoknya.

"Bunda, Lita datang," gumamnya seraya mengusap nisan marmer bertuliskan nama Bunda. "Maaf ya, Bunda. Lita jarang ke sini. Lita banyak pekerjaan." Monolognya.

Bersamaan dengan itu, air mata Thalita mencelos begitu saja tanpa izin. Wanita itu benar-benar dipukul berat oleh kerinduan pada Sang Bunda. Ia rindu senyum Bunda, canda tawa Bunda atau masakan-masakan Bunda yang mengalahkan restoran bintang lima. Kerinduannya benar-benar bertumpuk seperti kertas-kertas usang yang tak pernah dibuang.

"Bunda..." lirihnya menahan sesak. "Lita sedang kesulitan. Apa yang harus Lita lakukan supaya ini cepat berlalu, Bunda."

Hanya di makam ini, Thalita benar-benar bisa menumpahkan segala cobaan yang datang kepadanya. Dahulu, Bunda selalu datang memeluk ketika ia benar-benar sedang diambang kegelisahan. Bunda selalu mengelus pundaknya sambil mengucap kata-kata penuh semangat agar Thalita bisa bangkit kembali. Tapi sekarang sudah berbeda. Bukan Bunda lagi yang mengusapnya, melainkan dirinya yang mengusap nisan berukiran nama Bunda.

Thalita mengusak hidungnya dan terkekeh, "maaf ya Bun, Lita kalau datang pasti ngeluh mulu. Soalnya ngga tau lagi harus mengeluh ke mana. Bunda pergi, ayah pergi, Kak Taru pergi, Mas Raydan juga pergi. Aku ngga tau mau curhat sama siapa. Rafa sekarang juga lagi sakit. Dan sekarang yang aku takutin lagi adalah Rafa yang akan pergi juga."

Di dalam kalimat itu, ada luka menganga yang dengan hebatnya menyayat setiap permukaan lembut dari sebagian hatinya. Luka berbelas-belas tahun yang lalu yang kembali terbuka lebar seiring dengan susah payahnya diobati. Saking lamanya kembali dibiarkan terkoyak, perlahan hati itu hancur berkeping-keping tanpa menyisakan satu lembar pun. Thalita membiarkan dirinya babak belur dalam nasib aneh yang tak ia sangka terjadi kepadanya. Segala hal yang telah pergi tak mampu ia raih karena tak dapat ia jangkau lagi.

Bunda untuk Rafa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang