Bab 3;

587 35 1
                                    

Alinea Enzikala.

Satu nama yang tertera di sebuah absensi kelas, papan struktur organisasi, nickname WhatsApp teman-temannya, dan juga tertanam di pikiran Rafa sejak kelas 10 semester 2.

Entah kenapa setiap melihat Alinea yang biasa disebut Alin ini, begitu menarik perhatiannya. Selain parasnya yang cantik, Alin juga bak putri solo yang kemayu dan menjaga sikap dimana pun itu.

Gadis itu juga paling pintar kedua di kelas setelah nama Rafa selalu ada di peringkat satu.

Alin juga enak-enak saja orangnya dalam menjadi partner kerja kelompok. Sudah dua kali Rafa satu kelompok dengannya. Kalau tidak salah, kerja kelompok dalam menyelesaikan maket bakteri dalam pelajaran IPA dan juga membuat makalah tentang kemerdekaan Indonesia.

Suatu kehormatan bisa kerja kelompok bersama Alin. Sebab yang bekerja hanya mereka berdua alih-alih anak lain ikut andil dan memilih bayar patungan. Soalnya dalam hal ini, Rafa bisa santai mengobrol berdua bersama Alin.

Walau kadang hanya Alin yang banyak bicara ketimbang Rafa yang memulai. Karena Rafa sendiri tidak tahu harus mulai pembicaraan dari arah mana atau topik apa yang harus dibicarakan.

Seragu itu Rafa untuk berkomunikasi dengan gadis yang ia kagumi sejak kelas 10 semester 2 tersebut.

Setelah bel berbunyi terdengar sangat nyaring, Rafa buru-buru mencatat apa-apa yang ada di buku paket sejarah yang dipinjam dari perpustakaan karena tidak ada buku sejarah hak paten siswa. Jadi, mereka akan dipinjamkan, lalu dikembalikan saat itu juga ketika selesai menyalin.

"Bukunya dikumpulin lagi, ya." Titah Alin pada siswa-siswi di kelasnya. Satu persatu siswa menuruti dan langsung menumpuknya diatas meja guru sembari berjalan lanjut keluar untuk istirahat.

"Lin, kok gak ada kerja kelompok?" Tanya seorang anak laki, dengan topi terbalik khas dirinya. Si Naufal.

Alin mengernyitkan dahi, antara bingung dan aneh dengan kelakuan ajaib anak satu ini, "lho, aku kan gak tau." Balas Alin dengan aksen jawa medok yang ia punya. Ngomong-ngomong, Alin memang berasal dari jawa timur. Tak heran jika aksen itu masih melekat di dirinya meski sudah bisa menggunakan bahasa Indonesia.

"Lho, harus tau duonggg," balas Naufal dengan ikut-ikutan menggunakan aksen medok milik Alin, bermaksud meledek.

"Apasih lu, Pal." Cibir temannya Naufal yang menggunakan aksesoris kalung ala jamet namanya Vanno, "Alin, nda jajan, toh?" lanjutnya yang juga ikut meledek Alin.

Di sebelah Naufal, ada Regas yang menggeleng-geleng kepalanya, "Tuhan, kenapa dengan anak-anak tidak jelas ini?"

"Lo tuh yang gak jelas!" Cebik Naufal dan Vanno. Regas berjengit kaget.

"Kalian toh yang gak jelas!" Saut Alin dengan wajah kesal.

"Iya, toh, oh, he'em." Naufal makin meledek. Lalu ketiganya tertawa-tawa tidak jelas dan berlari keluar kelas.

Menyisakan Alin dan Rafa yang baru saja menyelesaikan catatannya. Ia beranjak lalu menghampiri Alin yang masih menunggu sambil menghapus papan tulis.

"Alin.." titah Rafa sambil meletakkan buku itu di atas tumpukan bukunya, "ini udah."

"Oh iya, oke." Balas Alin yang langsung mengambil setumpuk buku-buku tebal tersebut untuk ia hantar ke perpustakaan.

"Sini, gue bantu." Ucap Rafa yang langsung mengambil setengah buku.

"Eh, ngga apa-apa, toh?"

"Iya, toh, ngga apa-apa." Kata Rafa sembari tersenyum. Suaranya yang lembut membuat Alin tersenyum manis dan terkesan mesem-mesem. Padahal, kalau ada anak-anak lain yang balas ucapannya dengan kata 'toh', ia akan kesal merasa di ledeki.

Bunda untuk Rafa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang