Bab 6;

286 19 0
                                    

TW// Kekerasan

🥀

Cahaya terang dari luar kaca besar, menerpa ke dalam ruangan di salah satu kantor yang berada di lantai 20 sebuah gedung yang paling tinggi di antara gedung-gedung di sekelilingnya.

Thalita sudah berada di dalamnya sejak 5 menit yang lalu. Bukan. Dia tidak sedang berada di kantor miliknya. Melainkan di kantor teman lamanya yang merupakan tempat konsultasi karena orang itu seorang dokter spesialis jantung yang namanya terkenal ada di mana-mana.

Di temani dua cangkir teh di antara obrolan ringan mereka, Thalita menelisik padatnya kota Jakarta dari kaca besar yang ada di sana. Tampak indah bila dilihat dari ketinggian lebih dari 200 meter. Langit pun tampak cerah dengan awan-awan putih di sekelilingnya.

Ini masih jam 9 pagi. Tentu.

"Gimana kabar Rafa, Ta?"

Thalita menoleh pada seseorang yang ada di seberang meja. Pram---temannya itu, mengangkat cangkir tehnya dan kemudian menyesapnya pelan, "sehat, Pram."

Pram terkekeh, "udah lama dia gak kontrol ke rumah sakit."

"Harusnya gitu, tapi anak itu keras kepala. Dia selalu bilang 'aku sehat, Bunda', 'aku gak kenapa-napa', selalu begitu. Sampe capek bilanginnya," cerita Thalita pada Pram sembari terkekeh dan menggelengkan kepala. Mengingat Rafa yang sulit kalau diajak kontrol jantung lagi.

"Tapi masih sering minum obat, kan?" Tanya Pram lagi.

"Masih. Gue masih terus awasin dia. Kalau emang gak mau kontrol ke rumah sakit. Mau gak mau dia harus minum obat terus." Ucapnya sedikit miris mengingat ketergantungan Rafa terhadap obat-obatan selama ini.

Ya. Sejak datangnya Rafa hari itu ke rumahnya, Thalita mengetahui satu hal, bahwa Rafa tidak sekuat anak lain. Bisa dibilang, fisiknya lemah karena penyakit jantung bawaan dari lahir. Raydan tak pernah bercerita apa-apa karena laki-laki itu yang langsung pergi sehari setelah Rafa datang. Rafa yang berusia 8 tahun selalu mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba sesak ataupun berdesir hebat. Atau bahkan sampai pingsan di sekolah karena mengikuti pelajaran olahraga.

Melihat anak itu yang kemudian selalu ia bawa check up ke rumah sakit, Thalita dibuat hancur. Rafa yang kelihatannya baik-baik saja, namun tidak sebaik itu. Anak itu lemah. Baik fisik, atau batinnya. Dan Thalita bisa merasakan itu.

"Tapi, Ta, lo harus sesekali bawa Rafa kontrol lagi. Kita gak tau kondisi jantungnya selama ini gimana. Apa obat-obatan yang selama ini dia konsumsi bener-bener mujarab?" Pram menghela napas sesaat, "atau bisa aja Rafa gak pernah bilang apa-apa ke elo tentang apa yang dia rasain. Kasus kayak gini sering banget gue temuin soalnya. Anak-anak gak cerita apa-apa karena sebagian besar mereka takut buat bilang ke orang tua mereka. Terus tiba-tiba drop,"

Thalita tak sama sekali memotong ucapan Pram. Malah dia memikirkan tentang ini. Takut-takut kalau Rafa memang tertutup akan hal ini. Tak pernah bercerita tentang perasaannya dan apa yang ia rasakan.

Wanita itu menunduk.

"Gue gak lagi nakut-nakutin lo, Ta. Gue cuma kasih saran aja,"

"Pram, lo bisa yakinin gue kalau Rafa bisa sembuh?"

Pram menganggukan kepalanya. Sebagai dokter, tentu saja dia harus meyakinkan para pasien bahwa mereka bisa sembuh kalau rutin berobat atau pun meminum obat itu sendiri.

"Rafa pasti sembuh, Ta," ucap Pram meyakinkan.

"Oh iya, soal transplatasi itu....kira-kira lo udah ketemu orangnya?"

Bunda untuk Rafa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang