Bab 1;

1.1K 59 4
                                    

Di penghujung semester satu sekolah menengah atas Bina Bangsa kini dipenuhi oleh para orang tua yang menyempatkan diri mereka untuk mengambil raport anak-anaknya. Sudah menjadi rutinitas kalau setiap habis ujian dan sebelum liburan semester pasti diadakannya pembagian raport. Lapangan sekolah dipadati oleh banyaknya kendaraan beroda dua yang berjejer rapi dan beberapa mobil yang terparkir di sana. Anak-anak murid juga tak sedikit yang turut hadir ke sekolah guna menemani orang tua mereka.

Alasan mereka ikut, ya, kalau bukan karena orang tua mereka tidak tahu kelas anaknya, paling-paling juga hanya sekedar mejeng---atau tebar pesona ke seluruh penjuru sekolah yang ramai ini. Tak terkecuali ketiga anak laki-laki dengan gaya metal dan sok iya mereka yang tengah berdiri di dekat tiang ring basket sesekali menyapa gadis-gadis yang berlalu lalang.

"Dasar genit," batin Rafa yang sejak tadi turut memperhatikan dari kursi yang ada di dekat kelasnya. Anak itu hanya terpekur sendirian sambil menunggu Bundanya yang lama sekali datangnya.

Bunda
Rafa?
Kamu dimana, nak?
Bunda sudah datang

Rafa langsung mengarahkan netranya ke penjuru lapangan sekolah dan mencari-cari keberadaan mobil sang Bunda. Ketika matanya sigap mendapati Bunda tengah bersandar di kap mobil sembari menengok ke arah ponsel, Rafa buru-buru mendekat.

"Bundaaa," titahnya memanggil Bunda setengah berlarian dari kelas. Bunda mengangkat kepala dan langsung menghaturkan senyum manis.

"Hey ganteng, Bunda kelamaan, ya?" tanya Bunda sembari mengusap kepala sang putra. Rafa mengangguk kecil sebagai tanda setuju.

"Aku pikir, Bunda nggak datang terus diwakilin sama Bi Mimih," dengus Rafa dengan mimik wajah hampir kecewa.

Bunda terkekeh dan menepuk pundak Rafa pelan, "gak mungkin, ganteng. Tadi macet di jalan. Jadi agak lama, deh. Maaf, ya?"

"Jangan minta maaf. Udah, ah, ayo kita ke kelas," rengek anak itu yang langsung menarik tangan Bundanya untuk segera ke kelasnya. Tanpa menyadari bahwa Rafa telah melewati tiga serangkai yang sangat amat menjulit para anggotanya. Buktinya...

"Ih, anak mamih, euy, si Rapael teh," ucap si topi hitam yang dipakai dengan tudung dikebelakangi, namanya Naufal.

Di sampingnya, cowok berkalung rantai bergidik, "lain anak mamih, anak bunda, kali," ujarnya seraya menggaruk ketek bersihnya yang gatal. Sebut dia Vanno.

"Loh, kayak gua dong, hahahahhaha." Si imut menyahut diselingi tawa yang berasal dari lawakan garingnya. Percayalah, itu tidak lucu Regas. Iya, namanya Regas.

Yang dua menoleh pada Regas dengan tatapan---maaf, lo kenapa? Apa kita temenan?

"Maksudnya, tuh, ya, kayak gua gitu, anak bunda, bunda--Bunda Maria," jelasnya sedikit takut-takut karena ditatap seperti itu. Naufal dan Vanno kembali melengos dan tak acuh pada Regas lagi.

🥀

"Rafa anak yang rajin, kok, Bu. Gak ada catatan kriminal siswa di buku bk atas nama Rafa juga. Nilainya juga baik. Pertahankan, ya, Rafa," ucap Bu Rani dalam menjelaskan perkembangan Rafa di sekolah. Beliau juga memperlihatkan deretan nilai-nilai Rafa yang sangat amat baik kelihatannya. "Gimana, Rafa?"

Rafa menyengir malu, lalu menggaruk tengkuknya, "syukur kalau gitu, Bu, hehe."

Bunda yang duduk di sampingnya pun ikut tersenyum lebar dan puas. Dalam hati ia juga tidak perlu khawatir lagi. Rafa anak yang jelas-jelas sangat baik dan unggul. Meskipun ia juga tidak pernah menuntut apa-apa pada putranya, seperti halnya Rafa harus terus menerus belajar setiap waktu. Tidak, ia sama sekali tidak begitu.

Bunda untuk Rafa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang