Dua hari kemudian pasca operasi pencangkokkan jantung, Rafa masih belum siuman. Progres ketahanan tubuhnya masih sama seperti yang lalu-lalu. Warna hidupnya justru makin kelabu dan seolah-olah enggan menerima jantung Thalita untuk tetap hidup di dalam sana. Dokter yang menangani Rafa bahkan tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu anak itu bebas dari masa kritisnya.
Raydan mengambil napas banyak-banyak. Di depannya, Pram tengah memberikan kalimat penuh kata sabar dan tabah untuk laki-laki itu. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi. Operasi mungkin bisa berjalan dengan lancar. Namun untuk membuat Rafa menetap di sini dengan jantung yang bukan milik anak itu, Rafa juga memerlukan waktu untuk adaptasi.
"Saya akan memakamkan Thalita. Secepatnya," ucap Raydan penuh kepasrahan. Thalita tidak boleh menunggu lebih lama lagi untuk dimakamkan. Raydan ingin istrinya itu bisa istirahat dengan tenang. Dia juga tidak bisa menunggu Rafa siuman agar anak itu bisa menyaksikan pemakaman Bundanya. Mungkin ini momen yang akan ia sesali. Ia akan membuat Thalita dikuburkan tanpa kehadiran putra tercintanya. Dan Rafa yang tidak bisa mengantar jasad Thalita menuju liang lahat.
"Rafa gimana, Mas?" racau Larisa yang juga ikut menimbrung. "Rafa bakalan kecewa nantinya kalo kita menguburkan Mbak Thalita tanpa kehadiran dia."
"Lalu, membuat istri saya kedinginan di sini dan harus diawetin setiap hari?" tampik Raydan dengan datar dan tersirat emosi tak beralasan. Larisa terdiam. "Kalo gitu, lebih baik saya tidak akan memakamkan Thalita sampai kapanpun. Sampai saya mati juga. Saya akan merawat jasadnya dan kita bisa hidup bersama-sama lagi kayak dulu."
Nada yang dilontarkan laki-laki itu benar-benar sangat pasrah. Hatinya bergemuruh dan terjadi guncangan di sana. Dadanya sesak seakan-akan ingin meledakkan sesuatu. Raydan tidak bisa berpikir apa-apa selain memutuskan untuk menaruh ego dengan dalih ingin yang terbaik untuk jasad sang istri ataupun membuatnya menetap supaya Rafa bisa ikut andil mengantar sang Bunda sampai benar-benar terbaring di pengistirahatan terakhirnya.
"Ray!" bentak Pram. Ia sangat prihatin melihat Raydan yang makin hancur tiap harinya.
"Kita nggak tau Rafa akan koma sampai kapan dan membuat jasad Bundanya nunggu lebih lama di sini tanpa pemakaman juga bukan solusi yang bagus. Saya tau pikiran saya sedang tidak stabil saat-saat ini. Tapi saya juga nggak boleh abai terhadap Thalita." jelas Raydan lemah. Di sebelahnya, Larisa menghambur ke arah pintu ruang ICU yang mana Rafa ada di dalam sana. Melalui kaca yang ada di pintunya, Larisa kembali merintih.
"Rafa, kalau Rafa sayang sama Bundanya Rafa, bangun, Nak. Jangan buat Bunda Rafa nunggu lebih lama di sini. Kasian Bunda, Raf." cicitnya pelan dan mengurai banyak kesedihan di dalam kalimatnya.
"Dion akan hubungin pihak grand heaven setelah ini. Pram, kamu bakal dateng, kan?" tanya Raydan pada Pram yang masih mematung di hadapannya, "kamu temannya Thalita. Kalian berteman baik. Kamu udah hadir ke dalam hidupnya jauh lebih lama dari saya. Saya harap kamu bisa hadir juga ke pemakamannya."
"Kita udah banyak lewatin waktu untuk berteman, Ray. Ada banyak memori-memori kental yang mungkin nggak akan gue lupain selagi bersama dia. Tanpa lo minta, gue akan datang. Gue juga bakal angkat peti matinya sampai ke samping liang lahat," suara Pram terdengar sayup-sayup menahan kesedihan. Sampai hari ini ia masih tidak menyangka, bahwa pertemanannya dengan Thalita akan berakhir dengan cara wanita itu yang lebih dulu pergi bersama dengan maut.
Tak lama, empat orang anak yang sebaya dengan Rafa datang berlarian. Mereka tampak kompak datang dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Om, gimana keadaan Rafa sekarang?" tanya Regas kepada dua pria dewasa di hadapannya.
Raydan menatap anak-anak tersebut dengan tatapan teduh, "belum ada kemajuan. Kita semua masih harus nunggu. Kalian terus do'ain Rafa, ya?"
Mereka berempat mengangguk lemah.
"Dokter," seorang Nurse memanggil Pram untuk masuk ke dalam ruangan Rafa. Panggilannya terdengar serius dan mencekam bagi mereka. Seolah-olah hal yang tidak diinginkan sedang terjadi. Pram langsung masuk ke dalam ruangan.
Tangis Larisa tiba-tiba menguar di depan pintu. Wanita itu seolah-olah tahu apa yang terjadi di dalam sana. Kedua tangannya tertaut dan mengepal di depan dada sembari melantunkan do'a. Mendengar tangisan pilu Larisa, lantas membuat Raydan mematung. Ia pun maju untuk melongok ke arah kaca yang ada di pintu. Di dalam sana, Pram dan tim medis lainnya tengah melakukan pacu jantung terhadap Rafa.
Regas, Naufal, dan Vanno ikut meneteskan air mata. Tak terkecuali Alin. Cowok yang pernah menyatakan perasaan cinta terhadap dirinya itu ketika mereka sedang berlarian di pantai belum juga kembali ke pelukannya. Alin masih ingin bersama dengan Rafa lebih lama lagi. Alin masih ingin melihat cowok itu berjalan di samping dirinya dan menikmati momen manis yang Alin harapkan terus terjadi. Alin ingin Rafa selalu bersamanya. Alin bahkan ingin bisa menjadi Bunda yang kehadirannya selalu anak itu genggam. Kalau perlu, Alin juga ingin menjadi dunia bagi Rafa yang kini telah hilang karena kepergian Bundanya.
"Gue mau ke gereja," sahut Regas kepada tiga temannya, "gue mau berdo'a buat Rafa."
"Regas, gue ikut." sambung Alin.
Naufal dan Vanno hanya mengangguki perkataan mereka dengan mata yang sudah memerah.
Hendak Regas dan Alin pergi untuk berdo'a, pintu ruangan dengan suhu dingin yang sangat menusuk itu terbuka. Pram keluar dari dalam. Kepalanya menunduk. Lidahnya kelu untuk berucap kata demi kata untuk Raydan ataupun Larisa. Jadi, yang ia lakukan untuk pertama kalinya setelah berjuang untuk Rafa barusan adalah menatap Raydan dengan pandangan kosong.
"Pram, ada apa?" Raydan langsung menodongnya dengan pertanyaan.
Pram tidak menjawab apa-apa.
Dan tak lama kemudian, para perawat tadi membuka pintu ruangan lebar-lebar. Mereka mendorong brangkar dengan pasien yang sudah ditutupi dengan kain putih. Tanpa dijelaskan siapapun itu, pasien ruangan tersebut hanyalah Rafa.
Raydan memberhentikkan mereka dengan degup jantung yang tidak biasa terpompa lebih cepat. Bersama tangis Larisa yang kini sudah lebih histeris dan wanita itu yang bersimpuh di lantai, perlahan-lahan, Raydan membuka kain penutup pasien tak bernyawa tersebut.
"Nggak mungkin," cicit Raydan pelan. "Anak ayah nggak mungkin pergi juga, kan?
"Rafael sudah meninggal dunia. Waktu kematiannya pukul 13 lewat 17 menit." Pram mengumumkan itu masih dengan lidahnya yang kaku. Telinganya mulai mendengar jerit tangis yang sigap memenuhi lorong rumah sakit.
"RAFAAAA!" teriak Larisa makin menjadi. Diiringi tangisan dari orang-orang yag menangisi anak itu juga.
Hari penuh duka kembali datang menghampiri mereka. Suara tangis yang seolah-olah seperti nyanyian penuh kesedihan dilantunkan mereka ketika mendengar kabar burung yang meyampaikan bahwa Taruna bermata indah tersebut telah menyusul Sang Ibunda ke keabadian. Tanpa berpamitan, Rafael meninggalkan mereka semua. Menemui Bunda yang ternyata sosoknya tidak tergantikan oleh sosok manapun. Meninggalkan ayah, meninggalkan Mama dan meninggalkan teman-teman terbaik yang baru ia temui dalam kehidupannya.
Rafael berharap sebuah kedamaian. Maka ketika sosok Bunda berlari menghampiri dirinya dari sebalik cahaya putih dan kemudian memeluknya dengan erat, saat itulah ia mendapatkan ketenangan serta kebahagiaan abadi, bersama Bunda yang selalu ada di sisinya.
Selamat datang, kedamaian...
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda untuk Rafa ✔️
Fiksi PenggemarKetika Rafa yang tak lahir dari rahimnya, begitu memusatkan semestanya untuknya. Bunda yang berhati luas seluas samudra. "Jika dunia saya hancur, itu tandanya adalah Bunda sedang tak baik-baik saja."