Bab 7;

255 19 0
                                    

[Flashback]

"Bunda."

"Hm?"

"Bunda apa nggak marah sama aku?"

"Marah? Kenapa Bunda harus marah?"

Bibir Rafael kecil mengatup ketika Thalita yang tengah duduk di sofa rumah sakit sembari mengerjakan pekerjaannya, balik bertanya. Alasannya, Rafael hanya bingung mengapa wanita yang baru sebulan lebih ia temui ini, sekali pun tak menunjukkan raut penuh kebencian sementara dirinya datang sebagai penghancur rumah tangga Thalita dan Raydan.

Anak berusia 8 tahun yang sedang duduk di atas ranjang rumah sakit dengan infus yang berada di tangannya itu lantas menunduk. Merasa bahwa ia salah bertanya.

Thalita yang mengetahui raut wajah itu, sontak berdiri dan menghampiri Rafa. Ia menjatuhkan bokongnya di pinggir kasur rumah sakit.

"Kenapa, hm?"

Rafa menggeleng lemah, "Rafa bingung."

"Bingung?"

"Iya, Bunda baik banget soalnya sama aku," Rafa menunduk, tak berani menatap mata Bunda.

"Terus, alasan Bunda untuk gak suka sama Rafa, apa dong?"

Kembali Rafael menggeleng. Tak mengetahui jawaban-jawaban dari setiap pertanyaan Thalita yang ia rasa sangat sulit.

Thalita Marta Javiar mungkin punya beribu alasan mengapa dirinya tak pernah membenci anak dari suaminya ini. Ia tahu betul, kehadiran Rafa memang mengubah segalanya. Benar kata orang-orang kalau people come, and people go; orang-orang tiba-tiba datang dan kemudian orang-orang bisa sesukanya pergi sesuai keinginan mereka. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada kehidupannya. Rafael datang, namun Raydan malah pergi. Dengan alasan laki-laki itu terlalu malu untuk lagi menampakkan wajahnya di depan Thalita. Mengingat bahwa suaminya itu telah berkali-kali melempar tombak hingga hatinya sudah mati rasa. Raydan boleh saja malu. Raydan pun juga boleh merasa bersalah. Tapi cara laki-laki itu yang tidak menunjukkan bahwa ia ingin memperbaiki semuanya, Thalita tidak bisa berbuat apa-apa.

Hingga 6 hari setelah laki-laki itu pergi dan menitipkan Rafa padanya, Thalita semakin dibuat sedih. Rafael, anak tiri yang sangat ia sayangi bahkan ketika anak itu menginjakkan kaki di istana miliknya dan Raydan, harus merasakan pahitnya kehidupan dengan sebuah jantung yang tidak sempurna selama ini.

Fisik anak itu diketahui melemah setelah dirinya terus-terusan pingsan ketika habis mengikuti pelajaran olahraga dan upacara bendera.

Setelah mengetahui hal tersebut, Thalita berusaha mati-matian agar Rafael bisa hidup normal sebagaimana mestinya. Bahkan ia bawa Rafael ke spesialis jantung terbaik di negara ini. Sampai ada di mana ia kembali bertemu dengan Pram, seorang dokter spesialis jantung terkenal sekaligus teman baiknya ketika masih kuliah dulu.

Pram sangat baik membantu dirinya. Dan ikut andil dalam setiap pengobatan yang dijalani oleh Rafael.

Usai keduanya sama-sama terdiam karena beradu dalam pikiran masing-masing, sontak Thalita mengangkat dagu Rafael kecil dengan tangannya. Kepala yang semula tertunduk itu, lantas terangkat hingga manik berwarna coklat itu menatap manik milik Thalita, "Rafa gak perlu khawatirkan apa-apa. Rafa gak perlu mikir tentang perasaan Bunda. Rasa sayang Bunda. Atau rasa benci Bunda. Bunda gak pernah sekali pun mikirin hal itu."

Rafael kecil menggigit bibir bawahnya. Kini, matanya sudah berkaca-kaca sebab mendengar penuturan Bunda, "tapi, karena aku Ayah pergi, ya?"

"Engga. Ayah pergi karena Ayah mau." Tuturnya singkat. Thalita menggenggam tangan kanan Rafael yang kosong itu.

Bunda untuk Rafa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang