Suatu malam di depan sebuah perapian kediamannya Raydan (yang khusus untuk Larisa dan Rafa kecil tinggal), Raydan turut berdiri di dekat sana. Ia menatap Larisa dengan netra tajam karena bom waktu telah memecahkan emosinya yang terpendam dari lama untuk istri keduanya itu. Setelah sebelumnya mereka sama-sama bertengkar hebat hanya untuk mendebatkan sebuah perpisahan.
Larisa mendorong pelan pundak Rafa yang masih berusia 8 tahun supaya menjauh dari jangkauannya.
"Mama mau ke mana?" Suara kecil Rafa menguar dengan nada lirih. Sorot matanya tampak sendu dengan embun yang mengembang di pelupuk. Seolah-olah meminta sebuah kejelasan di saat ia melihat sebuah koper besar milik Larisa ada di dekat pintu.
"Kamu ikut sama ayah aja." Adalah kalimat yang Larisa ucapkan ketika dirinya dengan mantap memutuskan untuk pergi dari hidup Raydan.
"Emang Mama mau ke mana?"
"Rafa nggak perlu tau." balasnya dingin. Kemudian, ia menoleh ke arah Raydan yang kini melengos ke arah perapian yang apinya tengah berkobar dan menambah kesan panas atmosfir ruangan tersebut.
Tubuh Rafa kecil berangsur memeluk kaki jenjang ibunya. Tangisan pilunya memberikan tanda bahwa ia tidak ingin berpisah dari sang ibu, "Mama jangan pergi. Di sini aja, Ma. Kalo Mama pergi, aku juga mau ikut sama Mama."
Kedua tangan Larisa memegang lengan Rafa. Lagi-lagi ia menjauhkan tubuh Rafa agar tidak berada di dekatnya. "Rafa, dengerin Mama. Jangan nangis! Mama nggak suka. Denger, Mama nggak pergi jauh dari kamu. Mama cuma sebentar aja. Nanti kamu ikut ayah ke rumah Tante Thalita. Ngerti?"
"Tante Thalita itu siapa?"
"Tante kamu."
"Aku nggak mau, Ma. Aku cuma mau sama Mama." Rafa meraung. "Jangan pergi, Maaa..."
"Rafa, jangan ngeyel!" bentak Larisa, "kamu sayang, kan, sama Mama?"
Tangisan Rafa mereda. Ia pun mengangguk kukuh, "sayang, Ma."
"Ya udah! Kalo Rafa sayang Mama, Rafa harus jadi anak baik dan pintar. Nggak boleh nangis. Nurut sama Mama!"
Tak lama, ketukan pentofel yang dikenakan Raydan terdengar nyaring ketika laki-laki itu mendekat ke arah sang putra. Raydan berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan Rafa. Tangannya sigap mengelus lembut kepala putranya. Rafa kecil kembali merintih dan langsung memeluk sang ayah dengan erat.
"Ssstt, nggak apa-apa. Kan, ada ayah di sini." tuturnya lembut menenangkan Rafa.
"Mama mau ke mana emangnya, Ayah?"
Kepala Raydan mendongak dan kembali menatap dingin ke arah si Kawulan, "Mama punya urusan lain, makanya harus pergi. Rafa di sini aja, ya, sama ayah. Nanti ada Tante Thalita yang bakal jagain Rafa."
"Nggak mau, Ayah. Rafa maunya sama Mama." Anak itu merengek. Kemudian, Raydan memegang bahu Rafa dan menatap lamat-lamat mata coklat sang putra.
"Hei, nggak apa-apa sama ayah di sini, ya?" Raydan menghapus jejak air mata di pipi Rafa, "sama Tante Thalita juga. Katanya, dia pingin ketemu Rafa."
"Kalo tantenya jahat sama Rafa gimana?"
"Nggak akan. Tante Thalita baik banget orangnya. Rafa boleh cubit Ayah kalo ternyata Ayah bohong. Ya?"
Tak ada respons dari Rafa. Tidak menggangguk ataupun menggeleng. Bocah itu bergeming.
Raydan kembali berdiri. Ia tatap Larisa yang masih berdiri tak berkutik sedikitpun dengan datar.
"Pergi, Lar. Silakan kembali ke tempat asal kamu. Tempat kotor yang sudah jadi pelabuhan kamu itu. Rafa biar saya dan Thalita yang urus, sesuai janji kita pas di dalam mobil malam itu." tampik Raydan dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda untuk Rafa ✔️
FanfictionKetika Rafa yang tak lahir dari rahimnya, begitu memusatkan semestanya untuknya. Bunda yang berhati luas seluas samudra. "Jika dunia saya hancur, itu tandanya adalah Bunda sedang tak baik-baik saja."