Beberapa orang tampak menghadiri katedral dan memenuhi bangunan itu dengan berbekal ucapan belasungkawa serta kalimat turut berduka cita bagi orang-orang yang ditinggalkan. Berita lokal serta kabar lisan telah mengabari para masyarakat bahwa yang dikenal sangat sukses dan dermawan akan dimakamkan hari ini juga.
Busana hitam seluruhnya menghiasi bangunan megah tersebut.
Dua peti mati telah disejajarkan di depan sana. Dipeluk oleh banyak bunga-bunga dari para pelayat yang datang guna menghormati yang telah tiada. Dido'akan semoga bisa sampai kepada surga bersama-sama.
Dengan langkah yang berat serta peningnya kepala dirasakan sangat hebat menggerayangi sejak kemarin, Regas maju ke depan. Mendekat ke arah peti mati. Ia akan melantunkan kalimat perpisahan dan memberitahukan kepada semua orang bahwa dua insan yang sudah tidak bernyawa tersebut merupakan insan dengan seribu kebaikan selama mereka hidup. Regas berani menjadi saksi hidup atas kebaikan mereka. Regas camkan hal itu pada dirinya sendiri.
Di saat tangannya sigap meraih mikropon yang diberikan seseorang, jantungnya berdegup sangat kencang. Tubuhnya mendadak gemetar dan lidahnya melakukan atraksi yang sama. Padahal ia belum berbicara satu patah kata pun.
"Saya Regas. Temannya Rafa yang baru terjalin secara singkat. Saya juga baru sekali bertemu dengan tante Thalita yang sama sekali tidak keberatan bahwa saya dan teman-teman Rafa yang lain memanggil beliau Bunda. Karena asal kalian tau, walau waktu yang kita punya tidak terlalu banyak dan sangat singkat, saya punya memori kenapa saya ingin sekali bilang kalau Rafa dan Bundanya ini sangat baik sekali. Saya berani tunduk kalau emang saya bohong. Saya bisa merasakan itu. Keluasan hati Rafa dan Bunda bener-bener menghantarkan saya pada ketulusan bahwa saya sendiri yang kadang merasa nggak dihargai sebagai anak manusia, justru diterima dengan kedua tangan mereka. Saya saksinya. Kalau kalian nggak percaya kalian bisa iris dada saya. Walaupun bukan siapa-siapa dan hanya berstatus sebagai teman Rafa aja, kepergian mereka sangat berat bagi diri saya sendiri." Regas menangis tersedu-sedu. Ia menutup kedua matanya dengan lengan karena benar-benar berat untuk kembali berkalimat. "Sekarang saya cuma bisa berdo'a untuk mereka. Semoga jalan menuju surga-Nya Tuhan diberikan penerangan. Semoga--dan semoga ketenangan menyertai Rafa dan Bunda. Terima kasih."
Setelah menyelesaikan pidato atas perpisahannya untuk Rafa dan Bunda, langkah kaki Regas membawanya mendekat ke arah dua peti mati yang dijajarkan. Regas mendekat dan meletakkan bunga yang sedari tadi ia bawa ke dalam peti mati tersebut tepat di samping jasad Bunda dan Rafa.
Selamat jalan, Raf. Selamat jalan juga Bunda. Ingatkan ada Regas yang masih ada di dunia ini untuk selalu ingat akan kebaikan kalian. Regas sayang kalian...
Tak lama kemudian, Regas kembali menghambur ke teman-temannya yang lain di mana di sana ada Alin, Naufal dan Vanno yang juga sama-sama menunduk.
"Kalian nggak mau pidato juga?" tanya Regas pelan kepada ketiganya. Ketiganya menggeleng dan tetap menundukkan kepala.
"Lin, lo nggak mau taro bunga mawar itu ke samping tubuh Rafa?" Ditanya seperti itu oleh Regas, Alin berlanjut dalam sesegukannya. Digenggamannya ada sepucuk bunga mawar. Baginya itu sebuah simbolis atas hubungannya dengan Rafa. Cinta pertama di masa sekolahnya yang harus terputus sebelum ia bisa merasakan moment kebersamaan itu lebih lama lagi bersama dengan Rafa.
Bunga mawar yang pernah diberikan Rafa waktu itu, kini sudah layu dan hampir mengering. Bagian kelopaknya sudah memekar berwarna merah kecoklatan dan itu menjadi bunga terakhir yang diberikan Rafa untuknya.
"Menurut lo, kalau gue taro bunga ini di peti mati, gue akan kehilangan kenangan dari Rafa?" tanya Alin pelan.
"Cuma bunganya aja, Lin. Dan Rafa yang bakal merasa lo selalu ada di sisi dia. Kenangan lo sama Rafa nggak akan hilang. Karena dia selalu ada di hati lo kalo lo masih mau menyimpan momen-momen itu di hati dan pikiran lo," balas Vanno.
"Gue nggak sanggup, Van," rintih Alin, "gue nggak sanggup lepas Rafa. Waktu yang kita punya kenapa harus singkat banget."
"Gue paham, Lin. Tapi mau bagaimana lagi? Yang berkehendak bukan kita. Dan waktu yang lo maksud tadi, itu bukan punya kita. Kita anterin lo taro bunganya di peti mati, ya, Lin?" sambung Naufal.
Setelah itu, keempatnya pun maju bersama. Ketiga lelaki itu menuntun Alin untuk meletakkan 'bunga terakhir' pemberian cinta pertama di sekolahnya yang kini sudah terbaring dengan tenang di dalam peti.
Di dekat peti mati milik Rafa, Alin hanya berdiri dan menatapnya dengan nanar. Peti yang belum ditutup itu dengan jelas memperlihatkan Rafa yang sudah berbaring. Air mukanya terlihat tenang. Alin menngerti banyak setelah tahu apa yang selama ini Rafa alami. Tentang riwayat penyakit yang dialaminya, kehidupannya, Mama dan Bundanya--Alin mencoba paham bahwa sepak terjang Rafa sebagai seorang anak tidak semulus kelihatannya. Dengan melihat wajahnya yang kini kelihatan lebih tenang dan siap berjalan menuju surga bersama sang ibunda, Alin hanya bisa menghela napas pasrah. Ia boleh kehilangan Rafa. Tapi, kali ini Rafa lah yang mendapat kedamaiannya.
Sekarang kamu udah nggak sakit lagi, Raf. Mau sejauh apapun kamu, aku bakal tetap ingat kamu di sepanjang waktu aku...
Kemudian, bunga mawar yang hampir layu itu pun ia letakkan di atas dada Rafa. Biar rafa yang membawanya dan Alin yang menyimpan memori indah mereka di hati dan pikirannya.
🥀
Pemakaman telah usai beberapa saat yang lalu.
Para pelayat yang ikut hadir telah kembali pulang ke rumah masing-masing. Namun, Sandiego Hills masih disinggah dua orang yang memilih untuk menetap sebentar. Sedang beberapa orang dari kepolisian berdiri tidak jauh dari dua orang tersebut. Ingatkan bahwa salah satunya masih berstatus sebagai narapidana.
Dalam keterdiaman dan senyap menguasai suasana pemakaman siang itu, Larisa mengusap papan bertuliskan nama anaknya dan juga istri pertama dari mantan suaminya itu.
Ia sama sekali tidak ingat sudah berapa kali tidak sadarkan diri. Baginya, hukuman ini sangat berat untuk dilalui dibanding harus dipenjara selama berbelas-belas tahun lamanya. Kehilangan Rafa bukan salah satu hal yang ia inginkan. Walaupun perannya sebagai ibu selalu dipertanyakan oleh anak itu. Tapi ini bukan balasan untuk dirinya yang berdosa.
"Setelah ini kamu akan kembali, Lar." sahut Raydan yang berdiri di sisi makam Thalita. Pria berbalut kacamata hitam tersebut hanya menatap Larisa yang masih bersimpuh dengan pandangan kosong.
"Aku tau," balas Larisa pelan dan lirih. "Tapi, izinin aku untuk beberapa jam lebih lama di sini. Aku nggak tau, kapan lagi bisa ke rumahnya anak aku."
Raydan tak membalas perkataan Larisa. Ia pun melangkahkan kakinya untuk segera meninggalkan makam istri dan juga anaknya.
Namun, langkah terhenti ketika Larisa kembali merintih dan sesegukan.
"Tuhan, bukan ini hukumannya. Bukan ini yang aku mau. Kenapa harus ini hukuman yang kau kirim kepadaku? Aku tidak memintamu untuk mengambil mereka Ya Tuhan. Aku yang berdosa di sini. Aku yang pantas dapat hukuman yang mungkin lebih berat daripada penjara--tapi bukan ini Ya Tuhan. Bukan ini," racau Larisa sambil merintih pelan. Air matanya terus menerus jatuh membasahi pipinya. "Aku yang udah menghancurkan mereka. Aku yang harusnya engkau hukum. Aku cuma ingin anak ku dan Bundanya hidup bahagia."
Dari jarak yang cukup jauh, Raydan memerhatikan itu. Memerhatikan bagaimana akhirnya Larisa bersimpuh dengan tangis bertemakan penyesalan di hadapan makam Thalita dan Rafa. Dari jauh ia bahkan melihat, insan yang sebenarnya sudah ia kacaukan kehidupannya dan menjadikan setiap detik dari pada kehidupan mereka berubah menjadi tangisan tak terelakan serta percikan penyesalan yang tiada habisnya. Penyesalan bagi Raydan sendiri merupakan sebuah hasil akhir dari segala permasalahan yang telah ia tanam selama ini.
Selamat jalan dua permata berhargaku...
[SELESAI]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunda untuk Rafa ✔️
FanfictionKetika Rafa yang tak lahir dari rahimnya, begitu memusatkan semestanya untuknya. Bunda yang berhati luas seluas samudra. "Jika dunia saya hancur, itu tandanya adalah Bunda sedang tak baik-baik saja."