Bab 15;

322 21 4
                                    

"Ayah mau menceraikan Bunda?" tanya Rafa pada Raydan. Bukannya menjawab pertanyaan putranya itu, Raydan malah menyesap teh hangat buatan Thalita. Harusnya, teh tersebut terasa manis. Tapi, entah kenapa suasana membuatnya menjadi terasa hambar dan sedikit dingin.

Rafa menatap ayahnya dengan nanar. Setelah Rafa tahu bahwa amplop putih yang tergeletak di atas meja ketika dirinya pulang tadi adalah sebuah surat gugatan cerai, Raydan memutuskan untuk mengajak anak itu mengobrol berdua di ruang tamu. Sedang Thalita yang membantu Raydan untuk membuat anaknya mengerti dengan keputusannya, wanita itu pun berlalu dan benar-benar meninggalkan mereka hanya berdua saja. Hal ini Raydan lakukan karena raut wajah Rafa yang nampak kecewa dengan keputusannya tersebut. Seharusnya sejak Rafa datang tadi, Raydan bisa memeluk anak itu dengan hangat. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Rafa melengos begitu saja dengan air muka yang kosong sembari melihat ke arah amplop putih dan Bundanya secara bergantian.

"Kalau boleh tau, apa alasan ayah memutuskan cerai dari Bunda?" tanya anak itu intens. Lama-kelamaan, percakapan keduanya semakin terasa dingin.

"Bunda harus bahagia, berdua dengan Rafa aja," jawab Raydan dengan senyuman tipis.

"Ayah pikir, Bunda dan saya bahagia selama ini tanpa kehadiran ayah?"

Raydan mengangguk lemah, "sudah semestinya begitu. Ayah cuma pingin, Bunda dan Rafa bisa bahagia tanpa ayah. Kan Rafa tau, ayah udah nyakitin Bunda. Jadi, ayah harus nebus kesalahan ayah supaya Bunda dan Rafa bisa bahagia. Dengan menceraikan Bunda--"

"Dengan menceraikan Bunda, Bunda bisa lebih bahagia?" potong Rafa dengan cepat. Anak itu menatap mata ayahnya lebih dalam lagi, "kalau begitu ayah salah, maaf kalau saya koreksi kesalahan ayah. Tapi, selama saya tinggal berdua dengan Bunda, ngga menjamin Bunda selamanya bahagia tanpa suaminya. Saya tau itu, karena kadang saya nemuin Bunda dengan mata sembab karena tangisin suaminya yang nggak tau ada di mana. Selama ini Bunda berusaha hubungin ayah tapi hasilnya selalu nihil karena nggak tau suaminya ke mana. Masih mau bilang Bunda bahagia tanpa suaminya?"

"Rafa..."

Rafa tergelak, "Ayah mau bilang selama ini ayah perang batin? Kalau begitu, saya juga perang batin, Yah. Kadang saya nanya sama alam semesta, kenapa Bunda harus baik banget sama saya, sementara saya--" Rafa berhenti bicara. Ia memejamkan matanya dan memukul dadanya sekali. Hampir saja ia membuka masa lalu yang kelam dan menyakitkan di antara mereka berdua.

"Sementara kamu apa? Kesalahan?" sela Raydan seraya mendekatkan tubuhnya dengan Rafa, "bukan, Nak. Kamu bukan kesalahan. Tapi kamu adalah keinginan ayah. Kamu bukan kesalahan tapi ayah lah yang kesalahan. Ayah yang salah udah menyakiti Bunda, menyakiti kamu dan menyakiti Mama kamu. Ayah yang kesalahan di sini. Kamu jangan bilang bahwa kehadiran kamu adalah kesalahan, karena kenyataannya bukan begitu," sambung Raydan sambil mengusap punggung Rafa yang mulai bergetar.

"Ayah... saya dan Bunda udah lama nunggu ayah pulang," cicit Rafa tanpa melihat sedikitpun ke arah Raydan. Perlahan tapi pasti, air yang mengambang di pelupuk matanya menetes begitu saja membasahi pipi halusnya.

"Ini ayah, Nak. Ayah udah pulang," balas Raydan dengan suara yang bergetar, "ayah pulang untuk Rafa."

"Enggak, ayah nggak benar-benar pulang. Ayah cuma mampir aja ke sini."

"Rafa, nggak gitu, Nak."

"Oke, gak apa-apa. Ayah bisa ngelakuin apapun sesuka ayah. Ayah bisa mengambil keputusan sesuka ayah tanpa memikirkan perasaan orang lain." Rafa menatap Raydan sekilas. Sementara yang ditatap mengedarkan pandangan ke arah amplop putih yang masih tergeletak di atas meja.

Raydan menarik napas yang panjang, ia pun berkata, "Ayah tau, ayah adalah manusia yang paling egois. Ayah menyadari itu, Rafa. Tapi tangis Bunda di malam yang pernah kami lalui setelah ayah mengakui kesalahan ayah, itu adalah salah satu tangisan tersakit yang pernah ayah dengar. Setelah itu, ayah dirundung mimpi buruk yang menakutkan. Suara tangis Bunda menggema di kepala ayah. Tapi, setelah malam itu, Bunda kembali bersikap biasa seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa di antara kami berdua. Ayah sadar lagi, ternyata bukan cuma tangis Bunda, tapi sikap Bunda yang biasa-biasa aja yang bikin ayah tambah merasa bersalah."

Bunda untuk Rafa ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang