30. Merenungkan Nikmat

6.8K 1.1K 316
                                    

Seperti kesepakan sebelumnya yaitu mulai hari ini bujang akan mengadakan sholat berjamaah maka dari itu Lukas selaku Imam yang ditugaskan malam ini mulai bersiap untuk mengambil air wudhu. Tezar berulang kali menatap takjub bagaimana Lukas yang telah rampung menyelesaikan semua wudhu-nya. Rambutnya tampak basah akibat air, sungguh ini pemandangan langka yang dapat cowok itu saksikan semenjak bertahun-tahun bersama Lukas di Kosan Warisan Sujarat.

“Lo kalo tampilan lo kayak gini...” kata Tezar sambil menatap dari atas hingga bawah, “Gue jadi lupa kalo lo adalah iblis yang menyamar menjadi manusia.”

Lukas menggelengkan kepalanya seraya mengusap dadanya, “Astagfirullahal adzim. Sungguh berdosa kau Tezar telah menuduh sesama saudaramu sebagai salah satu makhluk yang melanggar aturan Allah SWT.”

Tezar secara spontan memukul bahu Lukas dengan kencang, “Sialan! Mules gue liat lo alim gini, hahaha.”

Lukas mendengus malas lalu mengambil sujadah, “Dahlah, gue mau langsung ke ruang tengah. Sungguh tidak eloknya dipandang jika Imam terlambat datang ketika sholat berjamaah akan dilaksanakan.”

Cowok itu segera berjalan keluar kamar meninggalkan Tezar yang kini tak henti-hentinya menghela nafas panjang.

“Lain kali gue mau bilang ke Bang Joni kalo Lukas tuh gak usah dijadiin Imam. Bukannya fokus sholat lama-lama gue ketawa kenceng pas dia baca Al Fatihah, astagfirullah.” komentar Tezar sebelum cepat-cepat melangkah untuk mengambil wudhu.

———

Ruang tengah dipenuhi oleh bujang lantai satu yang bertugas sebagai panitia perlengkapan. Haikal berulang kali memastikan mic yang nantinya akan digunakan Lukas berfungsi dengan baik.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Innalillahi wa innailaihi roji'un. Berita duka. Telah berpulang ke Rahmatullah kucing kita Butena pada hari ini di Ruang Mimpi. Insyallah akan disemayamkan dan di sholatkan di Kosan Warisan Sujarat

“Lo sumpahin Butena mati?” tanya Januar serius, ia menghentikan aksi menyapunya.

Haikal menoleh lalu menjauhkan mic dari mulutnya, “Lagi tes mic, Jan.”

“Tapi kenapa harus Butena yang dijadiin sampel-nya?” tanyanya lagi.

“Yakan namanya juga lagi nge-tes. Gosah baperan napa.” jawab Haikal setengah malas.

“Bukan maksudnya gitu, Kal. Cuman tuh gue kayak merasa gak enak soalnya itu kayak sama aja lo mendoakan kucing gue si Butena itu mati. Lo emang tega liat Alkana dan saudaranya jadi yatim piatu?” Januar menunjuk Butena yang tak sengaja lewat di depan mereka, “Ingat, Kal. Butena itu Janda jadi otomatis dari lahir Ayah Alkana itu udah gak ada. Kalo Butena ikutan mati, mereka jadi anak yatim piatu dong? Kasihan, Kal.”

Haikal tersenyum tipis sambil mengusap dadanya kasar, “Ya Allah, untung gue udah wudhu kalo belom udah gue sebutin semua hewan di kebun binatang gara-gara Januar.”

Lingga yang sedari tadi mengamati berdebatan dua bujang itu kini tertawa.

“Eh, Bang Joni udah Dateng!” teriak Jingga dibalik ujung tangga.

Januar menghela nafas lalu segera melanjutkan aksi menyapunya. Haikal kembali mengetuk-ngetuk mic yang dipegangnya—sekali lagi ia memastikan bahwa alat itu benar-benar berfungsi. Rangga dan Caesar ditugaskan untuk memanggil para bujang agar segera bersiap untuk melaksanakan sholat berjamaah. Tak perlu waktu lama setelahnya suara berisik mulai terdengar disepanjang lorong tangga.

KOSAN 23 BUJANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang