20 ; Mungkin?

505 47 56
                                    

Bagas POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagas POV

Pukul 14.34, gue, Juwan dan Ricky memutuskan untuk pulang dan yang tersisa ada Om Tyo, Haris, Tante Yera dan Sean yang masih setia menutup matanya.

Gue datang ke sini lari kan, nah sekarang gue bingung mau pulang gimana. Naik kendaraan umum juga uang gue ada di case hp, hp nya ketinggalan di kelas.

Akhirnya gue jalan kaki pulang ke rumah. Di depan pintu rumah, gue siapin mental dulu. Gue yakin, guru atau ketua kelas pasti bakalan cepuin gue ke Papa gue.

Dan benar saja, Papa udah berdiri di atas anak tangga kedua sambil melipat kedua tangannya. Gue mau naik ke atas juga nggak bakalan bisa.

Papa pun menghampiri gue dan berdiri di depan gue yang jaraknya lumayan dekat.

"Ngapain kamu bolos?"

Tuh kan

"Kalau aku bilang karena Sean sakit, gimana?"

Papa langsung melotot kaget. Gue yakin, dia bakalan nanyain Sean pasti, khawatir sama Sean haha.

"Sean sakit apa?"

Apa kan gue bilang?

"Tanyain aja sendiri."

Gue muak sama Papa. Gue langsung naik ke kamar dan ganti baju gue.

Sumpah, gue nggak tahu harus marah sama siapa. Papa? Mama? Sean? Atau diri gue sendiri? Papa lebih peduli sama Sean di banding gue, dan itu sakit banget.

"Sean, lo beruntung... Lo harus sembuh ya? Biar Papa Mama gue ada bahan buat bandingin gue, hehe."

Bagas POV end

***

"Kak, kenapa?" Tanya Nabil.

Sejak keluar tadi, Satya terus melamun. Nabil yakin ini ada hubungannya dengan Sean. Satya tadi mengajak Nabil untuk pergi jalan-jalan dan di sinilah mereka, duduk di sebuah bangku putih du taman yang begitu sejuk.

"Sean?" Lanjut Nabil.

Satya menoleh pada sang kekasih, "Iya, kamu tadi nggak lihat ada Sean kan di sekolah." Ucapnya lalu kembali melihat ke arah depan.

Nabil mengangguk-anggukkan kepalanya. Nabil menatap wajah Satya dan tersenyum padanya.

"Kak, kakak masih berjuang untuk mendapatkan jawaban maaf dari Sean?" Tanya Nabil.

Satya menoleh kembali pada Nabil, "Nggak tahu."

Nabil meraih tangan kekar Satya dan mengelusnya pelan sambil tersenyum manis pada Satya.

"Menurut aku, sebelum semuanya terlambat mending kamu temuin Sean deh, Kak..."

"Aku juga mikir kayak gitu, tapi setiap aku temuin Sean, Sean selalu ngindarin aku..."

"You give up?"

Satya terdiam mendengar pertanyaan Nabil.

"Aku udah bilang, sebelum semuanya terlambat, temuin Sean sekarang."

Satya mengangguk pelan, "Kamu ikut ya?"

Nabil mengangguk dan tersenyum, "Iya, aku temenin."

***

Knock knock...

Satya mengetuk pintu rumah kediaman keluarga Radhitya.

Tak lama, pintu terbuka menampakkan seorang wanita, itu adalah Yera, Ibu kandung Satya.

Satya tersenyum lalu meraih tangan Yera dan menciumnya, "Mama apa kabar...?"

"Alhamdulillah, Mama baik."

Nabil pun ikut mencium tangan Yera dan tersenyum ke arahnya.

"Ma, Sean ada?" Tanya Satya.

Yera memandangi wajah putra sulungnya. Apakah Yera akan membohongi putranya? Yera sangat merindukan Satya, sangat rindu. Tetapi pria brengsek itu benar-benar keterlaluan.

Mahardika selalu menyuruh Yera untuk menjauhi Satya. Jika Yera menemui Satya, Satya dan Sean juga yang akan menjadi sasaran Mahardika. Waktu itu pernah Yera menemui Satya, tetapi yang terjadi adalah wajah Satya membiru.

"Ma? Kok bengong?"

Yera tersadar dari lamunannya lalu berjalan keluar rumah tanpa menjawab pertanyaan Satya. Yera masuk ke dalam kursi kemudi mobil dan pergi dari sana.

"Maaf kak. Mama nggak bisa bantu apa apa."

Satya menundukkan kepalanya. Nabil yang melihat itu langsung memeluk tubuh tinggi Satya dan mengelus punggung Satya.

"Bukan hanya Sean yang ngindarin aku, Bil... Mama juga."

***

Yera sudah sampai di rumah sakit. Dia pulang untuk mengambil beberapa baju untuk Sean tapi karena ada Satya, Yera akhirnya membeli nya saja.

Yera tersenyum tipis melihat Tyo yang tertidur di atas sofa. Yera berjalan menuju ranjang Sean.

"Kamu bilang mau maafin Kak Satya? Ayok bangun sayang, Kak Satya tadi datang ke rumah."

Sean membulatkan matanya, "Kak Satya ke rumah?!"

"Astaghfirullah!"

"Surprise..." Tyo berjalan menghampiri istrinya.

Yera memijat pangkal hidungnya, "Ada ada aja..."

"Ma, Kak Satya datang ke rumah? Ngapain?"

"Ya apa lagi? Ya mau minta maaf kali sama kamu."

Sean hanya menunjukkan deretan giginya.

Yera menatap Sean dengan tatapan sedih. Mendengar suara Sean, itu sangat menyakitkan. Suaranya serak khas orang yang sedang sakit.

"Yah, Ayah nggak bakalan pisahin aku sama Kak Haris kan?"

Tyo menoleh, "Ayah nggak akan pernah pisahin kamu sama Haris, Sean."

Sean kembali menunjukkan deretan giginya, "Mungkin aku yang akan memisahkan diri." Lirihnya.

"Nggak, lo nggak akan pernah pisah dari gue." Saut Haris yang baru saja datang.

Haris berjalan menghampiri Sean, "Mau lo sakit juga lo nggak akan pernah pisah sama gue. Jangan bilang aneh-aneh!"

"Kan kata gue juga mungkin."

Mungkin sang pajar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mungkin sang pajar

See you next chapter, papay

Kak Satya [ ✓ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang