26

15.7K 513 9
                                    

Part 26

"Lula... Hanya sedang ingin mengunjungi Paman dan Bibi, itu saja." Jawab Talullah berbohong. Sejak sang Paman dan beberapa kerabatnya yang lain mengetahui perselingkuhan Calvin dan terus mendesak dirinya untuk menceraikan suaminya tersebut, Ia menarik diri dari keluarga besarnya. Selain malu, Ia merasa tidak enak membuat keluarganya khawatir walau Ia tahu keluarganya melakukan itu karena peduli padanya.

Paman menghela nafas dalam. Ia tahu Talullah tidak jujur padanya. "Kamu tidak perlu khawatir dan takut bercerai dengan lelaki brengsek itu, Lula. Paman, Bibi dan anggota keluarga kita yang lain akan berada disamping kamu, mendampingi kamu meskipun nanti orang tua-mu tidak mau mendampingi kamu menghadapi masalah ini." Ayah Talullah yang merupakan Abang kandung Paman sejak tiga tahun terakhir mengidap penyakit jantung, sejak saat itu lah Calvin bak pahlawan dalam keluarga Abangnya tersebut, lelaki itu lah yang membiayai pengobatan jantung dan membantu perekonomian sang Abang yang tidak sedikit. Hal itulah yang membuat Abangnya begitu menghormati Calvin.

Bibi yang berada di samping Talullah mengelus pundaknya lembut.

"Aku mengerti Paman, tapi benar bukan karena itu." Elak Talullah. Hal itu terbukti akhir-akhir ini Pamannya tidak lagi mengirimkan laporan ataupun foto mengenai kelakuan Calvin diluaran sana. Atau mungkin... Calvin yang sudah lebih pintar mengelabuinya? Talullah tanpa sadar menggelengkan kepalanya gusar.

"Sebaiknya kamu istirahat." Ujar Paman membelakangi lalu berlalu menuju kamarnya meninggalkan Talullah dan sang istri. Dirinya tahu, saat ini bukanlah hal yang tepat jika terus memborbardir Talullah, jujur saja, dirinya senang kembali mendapat kunjungan dari sang keponakan walau dalam konteks yang kurang menyenangkan, disaat Talullah sedang mengalami kesedihan.

"Maafkan Lula, Bi." Ucap Talullah tidak enak. Karena merasa kehadirannya membuat suasana di rumah Paman dan Bibinya menjadi tidak nyaman.

"Sssttt... Sudah... Benar kata Pamanmu, kamu istirahat dulu. Jangan berfikiran macam-macam. Ini tidak seperti dugaan kamu, Paman senang kamu kemari." Bibi mengajak Talullah menuju kamar yang biasa Talullah pakai saat kecil hingga kuliah dulu.

"Baju-baju kamu saat kuliah masih Bibi simpan. Sepertinya masih layak pakai hanya sedikit lusuh saja, tapi bahannya adem jika dipakai tidur." Bibi mengeluarkan pakaian yang berada di dalam lemari.

Talullah menerimanya dan tersenyum kecil. "Terima kasih, Bi. Baunya harum, dan terasa segar saat disentuh. Bibi merawat pakaian-pakaian aku dengan baik." Ujar Talullah seraya menciumi pakaiannya, tidak terasa air matanya mengalir. Terbayang masa kecilnya yang indah berada di pangkuan Paman dan Bibinya. Ia ingin kembali ke masa-masa itu, masa dimana Ia tidak merasakan kepahitan hidup.

"Loh... Kok menangis?" Bibi mengelus lembut rambut Talullah.

"Terharu Bi, sekaligus... Rindu. Lula rindu saat-saat dulu, bersama Bibi dan Paman." Jawab Talullah.

"Bibi juga... Inginnya kamu kecil terus saja tidak usah besar." Bibi pun menginginkan hal yang sama.

Talullah terkekeh mendengarnya.

"Bibi siapkan air hangat ya... Kamu pasti ingin mandi, kan?" Tawar sang Bibi.

Talullah menggeleng. Ia memang ingin mandi tapi tidak ingin merepotkan sang Bibi. "Lula saja yang menyiapkan. Bibi istirahat saja. Sekali lagi... Maafkan Lula atas kedatangan tiba-tiba Lula ya, Bi."

"Bibi senang banget kamu datang, sudah cukup lama kamu tidak kemari atau memberi kabar. Bibi yang tidak enak, pasti kamu yang sedikit menjauh karena Paman selalu saja membuat kamu tidak nyaman." Ujar Bibi dengan wajah muram merasa bersalah.

"Lula mengerti Paman melakukan semua itu karena sayang dan sangat peduli pada Lula. Buktinya, Paman selalu menawarkan bantuan dan menjadi garda terdepan untuk Lula."

Egois (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang