Awal Pertemuan

128 72 32
                                    

Pagi ini, hujan mengguyur kotaku. Tidak seperti biasanya, cuaca pagi ini begitu dingin. Segelas kopi panas menjadi temanku di pagi ini. Aromanya yang khas, menguar memenuhi seluruh ruangan di kamarku. Hingga tanpa sadar, ingatanku kembali melayang ke masa dimana aku pertama kali bertemu dengannya tiga tahun lalu.

***

Namaku Anaya Anantara Sabila. Teman-temanku biasa memanggilku dengan sebutan Naya. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Saat ini, aku adalah seorang mahasiswi semester empat jurusan akuntasi di salah satu universitas di sebuah kota yang mendapat julukan "Kota Kembang."

Aku merantau ke kota ini seorang diri. Aku tinggal bersama teman-temanku yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Mereka sama sepertiku, datang ke kota ini untuk menuntut ilmu sekaligus mencari pengalaman baru.

Aku tinggal di sebuah kost-kostan Putri dengan harga yang lumayan murah untuk ukuran mahasiswi sepertiku.

***

Siang itu, Ibu meneleponku.

"Neng, uang nya udah Ibu kirim. Jangan lupa, nanti kalau mau pulang sekalian beli oleh-oleh buat bapak." Ucap Ibu di seberang telepon.

"Iya, Bu. Nanti Neng kabarin Ibu sama Bapak kalau mau pulang."

"Gimana kuliah kamu, lancar?" Tanya Ibu.

"Alhamdulillah, Bu, lancar. Doain neng, ya. Supaya neng bisa bikin Ibu sama Bapak bangga."

"Ibu sama Bapak selalu doain yang terbaik buat kamu. Tapi ingat, kamu juga harus berusaha sebaik mungkin agar semua cita-cita kamu tercapai. Dan jangan lupa, untuk selalu libatkan Allah dalam setiap urusan kamu." Ucap Ibu menasehati.

"Iya, Bu. Neng akan selalu ingat sama semua nasihat Ibu." Ucapku tersenyum.

"Ya sudah, kalau gitu teleponnya ibu tutup. Jaga diri baik-baik di sana. Belajar yang rajin. Satu lagi yang paling penting, jangan pernah tinggalkan sholat yang lima waktu."

"Iya, Bu."

Tut Tut Tut...

Ibu pun mematikan teleponnya di seberang sana.

Setelah itu, aku langsung bergegas menuju ke sebuah gerai ATM yang terletak di seberang jalan raya. Aku memutuskan untuk berjalan kaki. Karena jaraknya yang lumayan dekat, aku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk sampai di sana.

Saat tiba di sana, aku melihat sekumpulan seniorku di Kampus sedang asyik nongkrong dan minum kopi. Aku perkirakan, mungkin, sekitar enam atau tujuh orang. Kebetulan di seberang ATM ini ada sebuah kedai kopi yang sering di jadikan sebagai tempat nongkrong.

Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku.

"Eh, Naya! Datar amat sih lo kaya penggaris." Teriak seseorang dari sana.

Dari mana dia tahu namaku? Ucapku dalam hati.

"Kenapa penggaris bro?" Tanya temannya.

"Iyalah, penggaris kan datar. Luruuus aja kaya si Naya." Ujarnya.

Hahahaha (teman-temannya ikut menertawakan ku).

Hatiku mulai panas. Berani sekali dia mengejekku seperti itu. Bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali. Awas saja, akan ku balas nanti. Gerutu ku dalam hati.

Akhirnya, aku memutuskan untuk cepat-cepat mengambil uang kiriman dari Ibu. Malas sekali rasanya meladeni orang yang nggak jelas seperti mereka.

Saat aku keluar dari ATM, tiba-tiba seseorang menghalangi jalanku. Ya, dia adalah orang yang tadi mengejekku. "Mau apalagi sih dia?" Gerutu ku.

Karena kesal, aku pun menginjak kakinya dengan sekuat tenaga dan pergi meninggalkan nya.

"Ahh! galak amat sih jadi cewek." Dia meringis kesakitan sambil memegangi kakinya yang aku injak tadi.

"Makanya jangan macem-macem! Awas ya, kalau sampai ganggu aku lagi, aku nggak bakal segan-segan buat matahin kaki kamu." Aku mencoba mengancamnya.

"Galak amat neng! Untung cantik." Ucapnya dengan santai.

"Dasar buaya darat." Umpatku.

"Ya udah mana?" Tanyanya.

" Mana apa?" Tanyaku lagi.

"Nomor handphone lo."

"Buat apa? Tanyaku bingung.

"Buat ngabarin lo, lah. Katanya lo mau matahin kaki gue kan tadi. Kalau gue udah siap, gue kabarin lo deh kapan waktunya." Ucapnya tanpa rasa bersalah.

"Dasar gila!"

"Gue serius."

"Kenapa harus nunggu nanti? Sekarang kan bisa."

"Kita kan baru kenal sekarang. Rasanya nggak etis aja, kalau lo tiba-tiba langsung hajar gue, kan?

"Nggak masalah dong. Anggap aja sebagai hadiah perkenalan kita. Kecuali kalau lo takut!" Ucapku sinis.

"Gue, takut sama lo? Gue nggak pernah takut sama siapapun. Cuma gue nggak mau aja di bilang pengecut gara-gara berantem sama cewek."

"Oh, ya? Kalau gitu, buktiin dong. Kalau emang lo nggak takut, ayo sini! Serang gue sekarang." Ucapku menantangnya.

"Eh, bro. Lo mau berantem sama Si Naya? Serius lo berantem sama cewek?" Ucap temannya tertawa.

"Sejak kapan gue berantem sama cewek? Lo semua kan juga tahu, kalau gue nggak pernah punya masalah sama cewek. Apalagi sama cewek rese kaya dia."

"Kita semua  percaya sama lo. Tapi kita nggak percaya sama dia." Tunjuk temannya.

"Cewek lemah kaya dia nggak ada apa-apanya buat gue." Ucapnya sombong.

"Bukannya tadi dia nginjak kaki Lo?" Tanya temannya.

"Gue cuma pura-pura kesakitan aja, biar dia ngasih nomor HP nya sama gue."

"Dasar orang aneh!" Aku pun berlalu pergi dan meninggalkan dia yang masih berdebat dengan temannya.

"Eh, tunggu! Mau kemana? Lo kan belum ngasih nomor hp lo ke gue?"

"Apalagi? Mau gue injak lagi kaki Lo?"

"Bisa nggak sih, nggak usah galak-galak! Sumpah ya, lo itu cewek ter-rese yang pernah gue kenal."

"Bodo amat!"

"Kalau gitu kasih nomor hp lo dulu, baru setelah itu lo boleh pergi."

"Apa sih? Pemaksaan banget jadi orang. Gue bilang nggak ya, nggak!"

"Lo mau ngasih atau nggak?"

"Nggak!"

"Dasar cewek batu! Nyesel banget gue kenal sama lo."

"Nyenyenye... Bodo amat! Siapa juga yang mau kenal sama cowok kasar kaya lo."

"Naya! Lo bilang apa tadi? Cowok kasar? Lo belum tahu aja siapa gue, semua cewek di kampus juga tahu kalau gue itu tipe cowok idaman semua wanita." Ucapnya bangga.

Aku menutup telingaku dan buru-buru  meninggalkan dia yang masih dengan bangganya memuji diri sendiri.

Kupikir dia akan mengejarku sampai ke kostan. Tapi ternyata aku salah. 

Syukurlah, setidaknya aku tidak akan menginjak kakinya untuk kedua kalinya.

Diary Naya (TAMAT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang