Kehadiran Arsa

11 2 0
                                    

Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar tanpa memperdulikan semua orang yang ada di sana.

Aku melewati Ibu dan juga Bapak tanpa terlebih dulu menyapa mereka.

Entahlah, aku merasa semua orang di rumah ini tidak ada yang mendukungku.

Bang Arya, yang awalnya mendukungku, sekarang sama saja seperti Bapak dan Ibu.

Aku tidak tau alasan Bang Arya bersikap seperti itu. Mungkin Bapak juga sudah mempengaruhi pikiran Bang Arya, hingga Abangku itu tidak sedikitpun membahas pertunangan ini, apalagi mendukungku seperti dulu.

Pagi tadi, saat Bang Arya menjemputku dia bilang bahwa kesehatan Bapak menurun. Saat aku tiba di rumah, ternyata Bapak baik-baik saja. Mungkin itu hanya alasan Bang Arya agar aku bisa pulang ke rumah.

"Neng, kamu nggak mau duduk di sini dulu?" Tanya Ibu.

"Neng langsung ke kamar aja, Bu. Neng cape!" Ujarku berbohong.

Aku langsung menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam.

Tas yang kubawa aku lemparkan ke sembarang arah.

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang sembari menatap langit-langit kamar.

Tiba-tiba sudut mataku meneteskan airmata.

Perasaanku benar-benar hancur. Aku belum bisa menerima semua ini.

Bayangan tentang Kak Arsa, tiba-tiba saja melintas di pikiranku.

"Nanti kalau aku udah lulus kuliah, aku bakal bekerja keras untuk kita. Aku bakal cari uang yang banyak biar bisa melamar kamu dan kita bisa menikah. Nanti kita bikin anak-anak yang lucu, ya. Kalau anaknya perempuan, pasti dia bakal secantik kamu. Rasanya aku udah nggak sabar buat lulus kuliah dan cari kerja. Setelah itu nikah sama kamu."
Ucapnya waktu itu.

Aku perlahan bangkit dari tempat tidur dan bersandar di dinding kamar.

Tubuhku merosot seiring dengan air mata yang luruh tak terkendali. Aku memukul, mencengkram baju bagian dada yang teramat sangat sesak di sini.

"Kenapa rasanya sesakit ini?" Aku memeluk lutut dan menelengkupkan wajah di sana.

Tangis yang kuredam nyatanya tak mampu kutahan. Aku tersedu, mengeluarkan sakit yang teramat pedih di dalam dada.

"Neng, ini Ibu. Bisa tolong buka pintunya? Ibu mau bicara sama kamu."

Aku menggelengkan kepala tanpa bicara. Hanya air mata yang keluar tanpa ingin membuka pintu untuk wanita yang telah melahirkanku itu.

Di balik pintu, Ibu terus menerus memanggil namaku, berharap aku bisa membukakannya pintu.

Aku tetap pada pendirianku. Ingin sendiri, menikmati kesakitan ini.

Beberapa saat kemudian, suasana tiba-tiba hening.

Ibu akhirnya mengalah dan pergi karena aku tidak kunjung membuka pintu.

Suara ponsel yang berdering, membuat kesadaranku kembali.

Aku segera bangkit dan meraih ponsel di atas nakas.

Amel ternyata menelponku meneleponku. Aku buru-buru menghapus air mata dengan lengan baju, dan berusaha bersikap senormal mungkin.

Aku menghembuskan nafas panjang sebelum mengangkat teleponnya.

"Halo, Mel. Ada apa?"

"Halo, Nay. Gue nanti ke rumah lo sekitar jam 3 sore, ya. Oh, iya, gue boleh ajak Kak Andre, nggak? Soalnya dia bilang mau ikut. Boleh, ya?"

Diary Naya (TAMAT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang