Taruhan

30 19 10
                                    

Kata-kata pecah berkeping-keping begitu sampai cinta. Dalam menguraikan cinta, akal terbaring tidak berdaya.


"Hari ini panas banget. Mau beli minum ke kantin, nggak?" Tanya Amel.

"Boleh. Tapi aku nitip sama kamu aja, ya." Ucapku.

"Udah ikut aja, yuk!" Ajak Amel seraya menarik pergelangan tanganku.

"Ah, males. Udah sendiri aja sana. Hush!" usirku.

"Astaghfirullah, Naya! Cuma jalan bentar doang. Nggak nyampe seratus meter juga udah sampai tuh di depan kantin." Ujarnya.

"Bodo amat! Lagi PW, nih."

"PW apaan, Nay?" Tanyanya.

"Posisi Wuenak." Ucapku terkekeh.

"Astaghfirullah. Benar-benar yah, lo. Lama-lama gue tendang juga lo ke kutub selatan. Biar sekalian tidur bareng sama beruang kutub." Ucapnya mengerucutkan bibir.

"Udah salah, sok tahu lagi. Beruang kutub itu adanya di Kutub Utara, bukan Selatan."

"Emang, iya? Bukannya di Kutub Selatan, yah?"

"Banyakin baca buku makanya. Jangan nonton drakor terus."

"Males gue baca buku. Yang ada, setiap gue baca buku kepala gue jadi pusing."

"Terus itu HP gunanya buat apa? Buat nonton drakor aja? Kalau males baca buku, minimal tuh HP gunakan buat nyari informasi atau berita." Sungut ku.

"Iya, iya. bawel amat. Emang lo tahu apa tentang beruang kutub? Lo kan anak akuntansi. Jadi nggak bakal tahu soal beruang kutub." Ucapnya kemudian.

"Beruang kutub sering juga di sebut sebagai beruang es. Atau dalam nama ilmiahnya Ursus Maritimus. Beruang adalah mamalia besar dalam Famili Biologi Ursidae pemakan daging. Beratnya bisa mencapai 450 kg massa. Dengan tinggi 1,8-2,4 m. Dan kecepatannya maksimum 40km/jam." Ucapku menjelaskan.

Amel hanya melongo seraya menatapku heran.

"Ngomongnya bisa pelan-pelan, nggak? Otak gue nggak nyampe nih, kalau soal beginian. Bisa di ulang lagi nggak, Nay?" pintanya.

"Nggak bisa!" jawabku singkat.

"Ya elah, tinggal ulang satu kali aja masa nggak mau. Gue bakal simpan baik-baik nih, di otak gue."

"Nggak, Mel. Nggak mau! Cari sendiri di internet kan bisa." Ucapku malas.

"Tapi gue heran deh sama lo. Lo kan anak akuntansi, kenapa bisa tahu semuanya?"

"Belajar makanya." Ucapku sambil menoyor kepalanya.

Saat sedang asyik mengobrol dengan Amel, tiba-tiba seseorang datang menghampiriku. Dari penampilannya, orang itu terlihat seperti anak geng motor. Dia memakai celana jeans berwarna hitam di padukan dengan jaket warna senada. Sayangnya, wajahnya di tutupi oleh masker. Jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Lo Naya, bukan?" Tanya nya.

"Iya. Ada perlu apa, ya?" Jawabku.

"Kenalin, nama gue Denis. Gue temannya Arsa." Ucapnya seraya mengulurkan tangannya untuk menyalamiku.

"Naya." Ucapku membalas uluran tangannya.

"Ada perlu apa ya, Kak Denis?" Tanyaku heran.

"Lo pacarnya Arsa, bukan?" Tanyanya tiba-tiba.

"Hah, maksudnya gimana ya, Kak?" Jawabku bingung.

Pasalnya, aku dan Kak Arsa memang tidak memiliki hubungan khusus. Kita hanya saling mengenal dekat tanpa ada embel-embel pacaran.

"Nama lengkap lo, Anaya Anantara Sabila, bukan? Soalnya dari yang gue denger, lo itu pacarnya Arsa."

Aku semakin di buat bingung dengan penuturan Kak Denis. Sejak kapan aku dan Kak Arsa pacaran? Kita berdua aja nggak pernah bisa akur. Malah nggak jauh beda seperti Tom and Jerry.

"Mungkin Kak Denis salah denger kali." Ucapku kikuk.

"Masa, sih? Jadi semua yang gue denger itu bohong?"

"Iya, Kak. Itu semua cuma gosip. Kita sama sekali nggak pacaran kok." Ucapku menyakinkan.

"Bagus deh kalau gitu. Soalnya gue mau ngasih tahu satu hal sama lo."

"Tentang apa, Kak?" Tanyaku penasaran.

"Arsa itu nggak sebaik yang lo kira. Lo ngga tahu kan, kalau dia jadiin lo bahan taruhan sama teman-temannya?"

"Maksudnya gimana ya, Kak? Aku nggak ngerti, taruhan apa?" Tanyaku bingung.

"Yang gue tahu, teman-temannya nantangin Arsa buat bisa deketin lo. Karena lo terkenal sebagai cewek paling dingin dan susah di deketin di Kampus ini. Dan kalau dia berhasil deketin lo, apalagi sampai bisa pacaran, Arsa bakal dapetin semua uang hasil taruhan itu."

"Gila sih, Kak Arsa. Nggak nyangka gue kalau dia kaya gitu." Celetuk Amel.

Aku hanya tersenyum mendengar semua penuturan Kak Denis tentang Kak Arsa. Aku sendiri juga bingung, harus percaya atau tidak pada semua ucapan Kak Denis. Menurutku, Kak Arsa tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti itu.

"Gue ngomong kaya gini, karena gue kasihan sama lo."

"Iya, Kak. Makasih infonya." Ucapku kemudian.

"Ya udah. Kalau gitu gue cabut dulu, ya." Pamitnya.

"Nay, dengerin gue baik-baik! Mulai sekarang lo nggak boleh deket-deket lagi sama Si Arsa sial*n itu. Emangnya dia pikir, lo itu mainan yang bisa seenaknya di jadiin bahan taruhan? Pokoknya, gue nggak bakal biarin lo deket lagi sama dia." Ucap Amel geram.

Amel adalah satu-satunya orang yang tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakitiku. Aku benar-benar beruntung bisa memiliki sahabat seperti dia.

"Tapi kayanya nggak mungkin deh Kak Arsa kaya gitu." Ujarku.

"Ya ampun, Naya! Buka mata sama hati lo. Jangan mau di buta kan sama cinta. Lo nggak denger tadi, Si Denis itu bilang kalau Si Arsa sial*n tuh cuma jadiin lo sebagai bahan taruhan?"

"Tapi kita kan belum tahu kebenaran nya seperti apa. Bisa aja kan kalau dia salah satu orang yang nggak suka sama Kak Arsa, jadi dia menjelek-jelekkan Kak Arsa di depan kita?" Ucapku menambahkan.

"Lo itu jadi orang jangan terlalu baik kenapa, Nay. Lo tahu kan, kalau Si Arsa itu anak motor? Kalau gue sih nggak heran kalau dia kaya gitu. Karena orang seperti Arsa bisa dengan mudah dapetin cewek manapun yang dia mau. Emang lo nggak sadar, kalau dia cuma penasaran sama lo?"

"Iya deh, iya." Ucapku akhirnya.

"Gue lebih setuju kalau lo sama Pak Rangga." Ucapnya tiba-tiba.

"Apaan sih, kenapa jadi Pak Rangga? Nggak jelas banget!"

"Ya, lo pikir aja sendiri. Waktu gue nggak masuk Kampus, lo di kasih tugas kan sama Pak Rangga? Lo di suruh kerjain Essai gara-gara lo nabrak dia waktu lo ngintip kelas sebelah."

"Kok bisa tahu? Kapan aku cerita sama kamu?"

"Apa sih, yang gue nggak tahu? Setelah kejadian itu, lo nggak tahu kan kalau Pak Rangga nanya-nanya ke gue soal lo."

"Emang dia nanya apa?" tanyaku penasaran.

"Tanya aja ke orangnya sendiri."

"Kok gitu, sih? Pak Rangga nanya soal apa?"

"Kepo banget! Cari tahu aja sendiri." Ucapnya meledek.

"Ayo dong, Mel. Masa gitu sih, sama sahabat sendiri." Ucapku memelas.

"Bodo amat! Udah ya, gue mau pergi." Ucapnya sambil berlalu pergi.

"Mel! Tungguin dong. Jangan pergi dulu."

Aku terus berusaha mengejarnya. Sampai tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang memperhatikanku dari jauh.

Diary Naya (TAMAT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang