Permintaan Bapak

62 55 11
                                    

Pagi ini cuaca cukup cerah. Matahari muncul dari ufuk timur, perlahan-lahan naik merangkak ke kaki langit, cahayanya terang benderang menyoroti bumi menembus daun-daun pepohonan yang tumbuh subur gemerlap hijau berkilau-kilauan. Membangkitkan semangat dan suasana damai alam dan seisinya.

Aku sengaja bangun lebih awal pagi ini. Selain karena omelan ibu dan juga alarm yang terus berbunyi sejak pukul 04.00 pagi, aku juga berencana untuk jalan-jalan pagi mengitari jalanan di desaku.

Semenjak aku memutuskan untuk kuliah di luar kota, rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan udara segar. Dan ketika aku pulang ke rumah, aku selalu memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk nya suasana kota.

Setelah bersiap-siap dan pamit kepada ibu, aku pun mulai berjalan menyusuri jalanan yang masih sepi. Jam di tanganku masih menunjukan angka pukul 05.00 pagi, dan belum banyak orang yang melintas melewati jalanan ini.

Di sepanjang jalan, beberapa kali aku  bertemu dengan ibu-ibu yang akan pergi ke pasar, dan juga beberapa  orang  yang hendak pergi ke sawah.

Ya ampun, Naya. Baru juga jalan beberapa ratus meter udah ngos-ngosan kaya gini. Apalagi kalau lari. Emang benar, kalau seorang Naya itu nggak ada bakat buat jalan jauh. Bakat kamu itu cuma satu, rebahan di kasur sepanjang hari. Ucapku bermonolog sendiri.

Setelah kurang lebih satu jam  berjalan, aku memutuskan untuk istirahat sebentar dan menikmati cahaya matahari yang mulai menampakan diri.

Aku memejamkan mataku dan menikmati hangatnya sinar mentari yang menerpa wajahku. Rasanya begitu nyaman dan tenang. Sejenak, aku bisa melupakan semua masalahku.

***

Setelah puas berjalan-jalan, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Setelah sebelumnya, aku juga membeli sarapan untuk di bawa pulang dan berencana memakannya ketika aku sampai di rumah nanti.

"Assalamualaikum." Aku mengucap salam.

" Waalaikumussalam." Jawab Bapak.

"Udah pulang, Neng?  Gimana, puas nggak jalan-jalannya?" Tanya Bapak.

"Udah, Pak. lagian ini udah siang, Mataharinya udah mulai panas. Neng takut kepanasan, nanti kulit neng jadi hitam lagi kaya arang." Ucapku tertawa.

"Kata siapa? Ada-ada aja kamu mah. Malahan matahari pagi itu bagus untuk kesehatan." Ujar Bapak.

"Neng kan cuma bercanda, Pak." Ucapku terkekeh.

"Ya sudah, kalau gitu bikinin bapak kopi, ya!" Pinta Bapak.

"Siap komandan!" Aku mengangkat tanganku seperti orang yang sedang memberi hormat kepada atasannya.

"Jangan lupa, kopinya harus lebih banyak dari gula!"

"Iya, Pak. Neng mah nggak pernah lupa sama takaran kopi kesukaan Bapak." Ucapku dengan bangga.

Aku pun berjalan ke dapur untuk menyimpan bungkus plastik yang berisi sarapan yang aku beli tadi. Tak lupa, aku juga membuatkan kopi untuk bapak. Saat aku melewati kamar ibu, aku melihat ibu sedang berbicara di telepon dengan seseorang.

Tumben banget Bang Arya udah nelepon pagi-pagi, gumamku.

***

Setelah selesai membuat kopi, aku pun kembali ke teras untuk memberikannya kepada Bapak.

"Ini kopinya, Pak. Neng masuk ke kamar dulu, ya. Gerah banget nih mau mandi. Sekalian mau sarapan juga, tadi neng beli nasi uduk sama gorengan di jalan." Aku pun bergegas menuju ke kamarku. Langkahku seketika  terhenti, saat Bapak  tiba-tiba memanggilku.

"Mau kemana, Neng? Duduk dulu sini, Bapak mau ngobrol sama kamu."

" Mau ngbrol apa, Pak?" Tanyaku.

"Jangan berdiri di situ! Duduk sini sama Bapak."

"Iya." Aku pun berjalan malas ke arah bapak, kemudian duduk berhadapan dengannya.

"Jadi gini, soal obrolan kita waktu itu, apa kamu udah pikirin baik-baik?" Tanya Bapak dengan nada serius.

"Obrolan yang mana?" Tanyaku bingung.

"Obrolan kita tentang 'apakah kamu udah siap untuk menikah atau belum?" Ujar Bapak.

Kali ini, kulihat tidak ada nada bercanda di raut wajahnya.  Sepertinya Bapak benar-benar serius memintaku untuk cepat-cepat menikah.

"Neng kan udah bilang, Pak. Neng masih ingin melanjutkan kuliah. Lagian neng kan masih muda. Mikirin tugas kuliah aja neng udah pusing, apalagi mikirin soal nikah." Ucapku mencoba membuat Bapak mengerti.

"Bapak tahu. Tapi menurut Bapak, kamu masih bisa melanjutkan kuliah kamu walaupun kamu sudah menikah nanti."

"Tapi neng belum siap, Pak. Bapak kan tahu sendiri, kalau neng menikah sekarang, tanggung jawab neng akan semakin besar. Neng harus mikirin tentang kuliah, belum lagi, neng harus mengurus suami neng nanti."

"Tapi umur Bapak semakin tua, Neng.  Apalagi sekarang bapak sering sakit-sakitan. Bapak takut, kalau umur bapak nggak akan panjang."

"Bapak kok ngomong gitu? Neng yakin kalau Bapak bakal kembali sehat seperti dulu."

"Jadi kamu nggak mau memenuhi keinginan bapak, Neng?"

"Bukan begitu, Pak. Neng belum kepikiran buat kesitu. Pacar aja nggak punya, gimana mau nikah?"

"Tapi bapak lihat, kemarin ada laki-laki berdiri di depan rumah kita. Bapak kira itu pacar kamu."

Jadi benar, kalau Bapak melihat Kak Arsa di sini kemarin. Tapi kenapa bapak nggak bilang? atau jangan-jangan, kemarin mereka sempat berbicara berdua? Tanyaku dalam hati.

"Kok malah diam, Neng? Kemarin itu pacar kamu, kan? Bapak lihat, dia terus berdiri di depan jendela kamar kamu dari pagi. Tapi pas Bapak mau samperin, orangnya udah pergi."

"Euuu... Ituu... Neng nggak tahu, pak. Mungkin dia orang yang lagi cari alamat, makanya dia berdiri di depan rumah kita." Ucapku berbohong.

"Bapak kira itu pacar kamu. Tapi kalau ternyata bukan, Bapak jadi lega. Karena Bapak udah punya calon buat kamu."

Deg!

Calon? apa maksud Bapak dengan calon? Apa itu artinya aku di jodohkan?

"Waktu itu, sebelum kamu pulang ke rumah. Orang tuanya Raka datang ke sini. Mereka bilang, kalau Raka sudah menyukai kamu sejak lama. Mereka juga berniat untuk melamar kamu buat anaknya. Bapak lihat, kalian juga sudah dekat sejak dulu. Jadi kamu pasti sudah mengenal Raka dengan baik."

"Tapi kenapa waktu itu Bapak nggak bilang?" Tanyaku.

"Waktu itu Bapak lupa buat ngasih tahu kamu. Lagipula, bapak juga mencari waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini."

"Sebenarnya, Bapak juga yang meminta ibu untuk menyuruh kamu pulang."

"Jadi, maksudnya?"

"Iya, Neng. Sebenarnya waktu itu Bapak hanya sakit biasa. Ibu kamu juga sudah melarang Bapak untuk meminta kamu pulang. Ibu bilang, kalau dia tidak mau mengganggu kuliah kamu. Tapi bapak terus-menerus meminta ibu supaya menyuruh kamu pulang. Dan akhirnya ibu luluh juga. Dia menelpon kamu untuk pulang, sesuai permintaan bapak."

Aku tidak bisa berkata apa- apa lagi. Ini adalah pertama kalinya Bapak membuat aku kecewa. Selama ini, aku selalu percaya bahwa Bapaklah satu-satunya orang yang tidak akan pernah menyakitiku. Tapi nyatanya, Bapak bahkan tidak berbicara jujur  padaku tentang masalah ini. Apalagi semua ini menyangkut masa depanku.

"Maafin Bapak, Neng. Bapak cuma ingin yang terbaik buat kamu. Jadi bapak harap, kamu pikirkan ini baik-baik. Bapak juga belum memberikan jawaban apapun kepada Raka dan orang tuanya. Tapi Bapak berharap, kamu tidak mengecewakan Bapak." Bapak pun kemudian berlalu dari hadapanku.

Sepeninggal Bapak, aku masih duduk termenung di sini. Aku merasa duniaku hancur seketika. Aku tidak menyangka, jika cinta pertamaku akan begitu menyakiti perasaanku.

Diary Naya (TAMAT)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang