Chapter 26 - Through the Mirror

8K 599 43
                                    

Hai semuanya, welcome backk. Aku update ini jam 12 lebih 50 menit. 

Makasih banget buat kesabaran kalian yang nunggu! 

and cerita ini separuh udah aku edit, separuh belum. (Ga kuat ngantuk say) Besok aku lanjutin edit lagi, jadi jangan aneh ya kalau di ujung-ujung masih bertebaran typo dan pembacaannya belum enak. Nanti aku edit lagi kok. (update : Udah aku edit yaa) 

Ini chapter panjang parah. Jadi, bacanya dinikmati yaa. Thank you penantian semuanya. 

Happy reading! 

~~~ 

Chapter 26 - Through the mirror

~~~

Semilir angin membelai wajah Jona, menyentuh pori-porinya. Merambat kesejukan yang diangankannya sejak tadi. Angin malam ini terpaut kencang. Dan Jona bersyukur karenanya. Dia butuh terpaan yang lebih kuat. Hantaman dersik angin kencang-kencang. Yang bisa menampar-nampar wajahnya. Agar pikirannya tak kalut ke kubang kenangan masa lalunya. Agar Jona bisa fokus menikmati desir nikmat yang berkedut-kedut di sarafnya. Menikmati pembunuhan yang tidak pernah terasa selega ini sepanjang hidupnya. Kebahagiaan yang sudah lampau tak ia kecap. Sembari Devan membisu di belakang.

Tidak bahkan 20 menit dibutuhkan pria itu untuk membawa Jona pergi dari setiap derap kaki polisi yang menerjang basemen. Pria itu muncul di pintu evakuasi, bersama Jona memanjat hingga ke lantai teratas. Di mana telah tergeletak tak bernyawa, satu lusin serdadu polisi, juga Thomas, tangan kanan Falcon. Kedatangannya tepat waktu. Membuat satu orang polisi pun tak berkesempatan melihat wajah Jona. Dalam sama waktu, memberikan mereka ruang menit cukup banyak untuk membersihkan darah kepalan Jona yang berkubang di lantai.

Sesampainya mereka memijak lantai teratas parkir, mereka melompat ke gedung sebelah, menggunakan tali yang sedia kala telah mereka sediakan. Sebuah Hotel yang tidak banyak dikunjungi orang. Mereka meragu ada yang bahkan menyadari kedatangan mereka seenaknya di lantai teratas hotel. Tempat itu sunyi, berbanding terbalik dengan gedung samping, mall terbengkalai itu yang kini dikecamuk huru-hara.

Berbondong-bondong polisi meramaikan suasana. Melukis jalan kota Paris, dengan gurat-gurat biru merah. Sirene mereka laksana cat-cat bercahaya yang memantul di tengah malam gelap. Cantik. Melukiskan kebahagiaan malam ini, yang mungkin hanya Jona seorang rasakan. Ambulans mengikut bagai anjing penurut. Petugas-petugas berseragam kelabu turun membawa brankar, jauh lebih banyak dari satu. Menyapu habis mayat-mayat tembakan yang bergelimpangan. Korban yang berjatuhan jauh lebih banyak dari yang Jona rencanakan. Sebab dikejar hingga ke tempat parkir mall di luar ekspektasinya.

Namun kali ini juga, persiapannya matang sekali. Berjalan dengan mulus. Upaya pembunuhannya berlangsung tanpa cela.

Lagi-lagi, kelancaran yang menakutkan.

Mayat-mayat bawahan Jona dan polisi hampir tak bisa dibedakan. Sebab seragam mereka berwarna sama. Hitam. Namun kendati jasad mereka yang terkuak, identitas Jona tidak akan tersebar. Dia telah merencanakan malam ini sesempurna mungkin, menyuruh setiap bawahannya untuk mengenakan lencana keluarga Falcon di balik jas mereka. Tatkala polisi mengecek, praduga mereka tentu jatuh pada dugaan "bawahan keluarga Emerald." Nama Austin tertutup rapat.

Denyar-denyar sirene tak ubahnya suara ngengat di hiking Sabtu pagi. Berdengung nyaring, silih tindih dengan sirene sampingnya. Namun suaranya menangkan di telinga Jona. Bagai setiap bunyinya mengibarkan panji kemenangan yang kian menyanjung kelegaannya. Kepuasannya. Menyatakan padanya dalam setiap bunyi, kalau balas dendamnya telah tuntas. Berhasil dia selesaikan tanpa terlewat.

Madame MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang