Hi Semuanya! Welcome to another update!
Kali ini aku mau minta maaf dulu, karena engga sempet, aku belum edit chapter ini. Aku akan kabarin pasti kalau udah di edit, tapi kalau kalian ga apa dengan hasil yang mungkin masih acak-acakan, silakan langsung baca.
Kalau pengen nanti yang rapi aja, tunggu kabar dari aku, ya!
Selamat membaca, semuanya!
(Update : Sudah di edit, ya! Selamat membaca!)
~~~
Chapter 32 - Fishing Net (2)
~~~
Seribu kali lebih susah menahan hasrat tidak mengacungkan senapan dari pinggangnya, ketimbang menahan nafsu di malam pernikahannya.
Terhampar di setiap sisi, manusia mengenakan topeng beraneka ragam. Rian yakin semuanya kriminal yang layak mengendap di penjara. Kejahatan tercium bahkan dari udara. Laksana kerumunan ikan di tengah jerat kail, dan Rian Nelayannya. Dia ingin menjebloskan semua orang di sini ke balik jeruji, atas nama keadilan.
Ruangan ini cukup temaram, membuat panggung yang disoroti lingkaran lampu bulat mencolok. Sekalipun ratusan orang berkumpul, udara sunyi senyap. Mafia lebih piawai menutup mulut, bahkan ketimbang siput. Di luar venue, berbaris berbagai macam mobil besar, semuanya menampung uang kertas, sebab tidak ada yang berani menggunakan transfer digital. Andai saja pakai, Rian dengan lezat akan meretas satu-satu dan menciduk mereka. Ruang raksasa yang menampung ratusan orang ini berada di bawah tanah, jalan masuknya, tidak lain adalah sebuah rumah bersahaja kecil, yang tidak tampak mencolok, dan terpencil. Letaknya di tengah hutan lebat, yang tengahnya dipangkas tanpa sepengetahuan siapa pun. Memungkinkan para mafia untuk memarkirkan mobil di sana.
Karena mendaftar di detik-detik terakhir, Rian tidak bisa mendapatkan kursi yang baik. Dia berada tepat di barisan Jonathan Austin, sehingga dia tidak bisa melihat pria itu terang-terangan. Namun dia berhasil mendapatkan nomor kursi pria itu. 3412. Sisi kursi 3, barisan ke 4 dari atas, bangku nomor 12. Dari data yang Rian retas, pria itu membeli dua tiket. Mungkin, satunya untuk asistennya.
Sialnya, Rian berada di kursi 3716. Sesi kursi 3, barisan ke 7, kursi nomor 16. Harus membalikkan badan untuk melihat kursi yang lebih atas-atas.
Sialan. Tapi tak apa, yang penting aku sudah mendapatkan nomor kursinya. Dia tidak akan lolos.
Lagi pula, Rian berhasil menyeludupkan beberapa bawahannya menjadi panitia lelang. Di antara hamparan manusia ini, hanya dia seorang yang lolos membawa senapan di genggamannya.
Ketegangan menguar di udara, sesaat seorang pria, mengenakan sebuah jas putih, menggenggam mic di tangan kanannya, dan ditengger kaca mata hitam di pangkal hidungnya, mengetuk langkah di kayu panggung. Tanpa perlu diragukan, dia juru lelang. Wajahnya ditutupi sebuah masker tuksedo, sekalipun begitu, matanya masih tampak menyiratkan keceriaan. Bahkan senyumnya terangkat tinggi. Mengagumkan bisa tetap positif di tengah suasana kelam ini.
Seorang wanita mengekori di belakang, membawa kotak kayu beserta palu. Cara kolot untuk menyatakan kemenangan. Ketimbang Juru lelang, Rian rasa semua mata menatap perempuan berbaju ketat itu, mulai dari belahan dadanya – yang putingnya nyaris tampak – dan roknya yang berakhir 10 senti di bawah pinggang – celana dalamnya nyaris mampu dipandang. Tetapi tak lama gema suara sang juru lelang kembali menarik perhatian.
"Selamat malam, Tuan dan Nyonya sekalian. Selamat datang di pelelangan malam hari ini. Mari melelang semeriah mungkin!" Seruannya tidak bahkan ditanggapi siapa-siapa. Menakjubkannya, pria itu tidak tampak terganggu. Dia sepertinya sudah biasa mengurusi mafia-mafia pendiam ini. Dan tanpa mencari persetujuan tambahan, setelah mengenalkan diri singkat dalam nama samaran, tentunya, lelang pun dia mulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Madame Mafia
RomansaCarlie Eloise Heston adalah simbol kesempurnaan. Putri dari keluarga bangsawan paling ternama, memiliki salah satu label fashion terbesar di bumi, menyikat semua prestasi yang dia inginkan. Inti kata, dia berlian tanpa karat. Sempurna. Carlie memil...